Ketentuan ini diatur pada Pasal 356 yang isinya ‘pemilih disabilitas netra, fisik, dan yang mempunyai halangan fisik lainnya saat memberikan suara di TPS dapat dibantu oleh orang lain’.
Tapi pada praktiknya di Pemilu 2024 justru banyak anggota Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) dan Panwaslu yang melarang atau mempersulit disabilitas membawa pendamping.
“Ramah disabilitas artinya mereka tahu bahwa bisa bawa pendamping dari luar. Bukan harus pendamping dari panitia (Petugas KPPS). Itu sudah ada undang-undangnya,” katanya.
Mulyawan mencontohkan, kasus anggota Pertuni DPC Jakarta Timur yang pada Pemilu 2024 hanya diberikan satu surat suara pemilihan presiden dan wakil presiden (PPWP) saja.
Sedangkan surat suara untuk memilih Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tidak diberikan karena alasan membawa pendamping mandiri.
Untuk mencegah hal serupa terjadi pada Pilgub DKI, Pertuni DPC Jakarta Timur meminta KPU dan Bawaslu DKI Jakarta mesosialisasikan hak-hak penyandang disabilitas hingga ke tingkat jajaran.