IPOL.ID- Ahmad Doli Kurnia Tandjung, politikus dan anggota DPR RI dari fraksi Partai Golkar, baru-baru ini meraih penghargaan sebagai Tokoh Transformasi Politik dan Demokrasi.
Doli menyampaikan rasa terima kasih atas penghargaan diterimanya, dinilainya sebagai dorongan untuk mengakselerasi demokrasi demi kepentingan rakyat Indonesia.
Bagi Doli, penghargaan itu merupakan kejutan sekaligus momen kebanggaan. Namun, dia menyadari bahwa hal ini membawa tanggung jawab tambahan, karena sebagai anggota DPR RI, dia harus terus mempertahankan kinerja dan performa dalam melakukan transformasi politik dan demokrasi.
“Campur haru, senang, terima kasih. Penghargaan ini memicu motivasi saya untuk bekerja lebih baik lagi untuk rakyat Indonesia,” kata Doli usai meraih penghargaan di hotel di kawasan Kuningan, Setiabudi, Jakarta Selatan, Kamis (18/10/2024) malam.
Selama masa jabatannya, dia dikenal sebagai salah satu tokoh kunci di Komisi II DPR RI, yang mencetak rekor dengan menghasilkan 160 Undang-Undang.
Prestasi itu bukan hanya dianggap sebagai pencapaian individu, namun sebagai cerminan kerja sama dan dedikasi seluruh anggota Komisi II.
Lebih jauh, Doli menekankan bahwa keberhasilan tersebut tidak dihasilkan dari target yang jelas, melainkan dari kerja keras dan komitmen anggota Komisi II untuk kepentingan rakyat.
Kendati target legislasi awalnya lebih tinggi, yaitu 270 Undang-Undang (UU), tantangan lain seperti pengawasan dan budgeting membuat pencapaian 160 UU menjadi signifikan.
“Kami fokus bekerja,” ujarnya.
Menyongsong pemerintahan di bawah kepemimpinan Prabowo Subianto, Doli berharap dapat melanjutkan pencapaian yang telah diraih selama dua periode kepemimpinan Joko Widodo.
Dia percaya bahwa transformasi politik dan penguatan demokrasi harus terus dilakukan untuk mencapai tujuan nasional yang adil dan makmur.
Doli juga menyoroti pentingnya modernisasi birokrasi sebagai faktor penentu dalam pelayanan publik dan masyarakat.
Dia berpendapat bahwa untuk mencapai transformasi yang diinginkan, perlu ada evaluasi menyeluruh terhadap catatan selama 26 tahun era reformasi.
Doli menekankan bahwa demokrasi harus dipahami sebagai alat untuk mencapai tujuan, bukan sebagai tujuan itu sendiri.
“Transformasi politik itu tak boleh berhenti karena belum sampai, tujuan akhirnya itu tadi tercapainya tujuan nasional. Selama belum sampai di sana maka transformasi di bidang apa saja, termasuk transportasi politik harus dilakukan,” imbuhnya.
“Termasuk penguatan demokrasi, seharusnya kita sudah mulai memaknai demokrasi secara substansial. Bahwa demokrasi bukan tujuan tapi sebagai alat untuk mencapai tujuan,” tambahnya.
“Jadi bagaimana ke depan menempatkan Pemilu bukan hanya sekadar Pemilu tapi bisa memproduksi terjadinya percepatan masyarakat yang tertib hukum misalnya, Pemilu bisa berdampak pada pengentasan kemiskinan, Pemilu yang dapat berdampak pada institusi masyarakat dan seterusnya, itu yang bisa dikatakan kita cepat pada tujuan nasional,” jelas Doli.
Dalam jangka pendek, Doli mengusulkan penyempurnaan delapan paket Undang-Undang berkaitan dengan politik, termasuk UU Pemilu, partai politik, dan kelembagaan negara.
Dia menganggap bahwa pemilu merupakan hulu dari semua produk politik dan institusi pemerintahan, sehingga penyempurnaan sistem pemilu harus menjadi prioritas.
“Saya kira harus dimulai dari penyempurnaan sistem UU Pemilu, kedua tentang partai politik dan keberadaan kelembagaan negara, DPR, DPRD diperkuat, UU pemerintahan daerah, desa, UU hubungan keuangan pusat-daerah,” tuturnya.
Doli juga membuka kemungkinan amandemen UUD 1945 sebagai langkah untuk memperbaiki sistem ketatanegaraan.
Menyusul Tahun 2024, yang menandai amandemen keempat, dan dia percaya sudah saatnya untuk mulai mendiskusikan amandemen kelima demi kemajuan sistem politik dan pemerintahan di Indonesia.
“Sekarang kita harus mulai membicarakan amandemen UU kelima, dalam rangka menyempurnakan sistem ketata negaraan, politik, pemerintahan, sistem pengelolaan pemerintahan dan seterusnya,” pungkasnya. (Joesvicar Iqbal/msb)