Salah satu publikasi terbaru, Queering Tropical Heritage: Flora and Fauna Reliefs in Karmawibhangga Borobudur Temple, Indonesia, merupakan sebuah penemuan baru cara pandang kesetaraan antara Antara Anthropocentris, flora, fauna dan benda-benda post human lainnya tidak hanya prinsip hukum karma yang diperlihatkan, tetapi juga dapat digunakan dalam pengelolaan alam sekaligus indikator penting ekologi.
Ibnu menambahkan, melalui pendekatan intra-tekstual, ekstra-tekstual, dan queer-ecology tropis, kajian ini menyoroti peran penting flora dan fauna dalam warisan budaya tropis, serta bagaimana mereka melihat flora, fauna dan alam setara dengan manusia, mematahkan hierarki atau undoing normativity yang umum dianggap berlaku.
“Penelitian ini menunjukkan bahwa Borobudur tidak hanya menonjolkan aspek artistik, tetapi juga menentang norma-norma yang mapan. Kajian dengan perspektif queer ecology ini mempromosikan kesetaraan antara manusia, hewan, tumbuhan, alam, dll serta mengusulkan strategi dekonstruktif untuk mengurangi diskriminasi didalam kehidupan bermasyarakat, dan realitanya fauna, dan flora yang sering terpinggirkan. Dengan demikian mendorong adanya interaksi yang lebih adil dalam konteks sosial, budaya, dan ekologi,” jelasnya.