IPOL.ID – Jaksa penuntut Mahkamah Pidana Internasional (ICC) mengajukan surat perintah penangkapan untuk pemimpin militer Myanmar, Min Aung Hlaing, atas kejahatan terhadap kemanusiaan terhadap etnis Rohingya yang merupakan kelompok minoritas Muslim.
Dilansir Reuters Rabu (27/11), sebuah panel yang terdiri dari tiga hakim akan memutuskan apakah mereka setuju bahwa ada “alasan yang masuk akal” untuk meyakini bahwa jenderal Min Aung Hlaing memikul tanggung jawab kriminal atas deportasi dan penganiayaan terhadap warga Rohingya di Myanmar dan Bangladesh.
Tidak ada jangka waktu yang ditetapkan untuk keputusan mereka, namun biasanya dibutuhkan waktu sekitar tiga bulan untuk memutuskan mengeluarkan surat perintah penangkapan.
Juru bicara junta yang berkuasa di Myanmar tidak memberikan komentar soal permohonan tersebut.
Langkah jaksa penuntut ICC ini dilakukan ketika kantornya menghadapi reaksi politik yang kuat dari Washington, antara lain atas surat perintah penangkapan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan mantan kepala pertahanannya, Yoav Gallant.
Kantor kejaksaan mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa mereka meminta surat perintah tersebut setelah melakukan investigasi yang ekstensif, independen dan tidak memihak.
“Lebih banyak permohonan surat perintah penangkapan yang berkaitan dengan Myanmar akan menyusul,” katanya.
Lebih dari 730.000 Muslim Rohingya melarikan diri ke Bangladesh akibat operasi militer Myanmar yang menurut para penyelidik PBB dilakukan dengan “niat genosida”.
Myanmar yang mayoritas penduduknya beragama Buddha menyangkal tuduhan genosida dan selalu bersikukuh bahwa mereka tidak menargetkan warga sipil, dengan mengatakan bahwa mereka melakukan operasi militer terhadap teroris.
Myanmar bukan anggota ICC yang berbasis perjanjian, tetapi dalam putusan tahun 2018 dan 2019, para hakim mengatakan bahwa pengadilan memiliki yurisdiksi atas dugaan kejahatan lintas batas yang sebagian terjadi di negara tetangga, Bangladesh, dan mengatakan bahwa jaksa penuntut dapat membuka penyelidikan formal.
“Ini adalah permohonan pertama untuk surat perintah penangkapan terhadap pejabat tinggi pemerintah Myanmar yang diajukan oleh kantor saya. Lebih banyak lagi yang akan menyusul,” demikian pernyataan jaksa penuntut ICC.
ICC telah menyelidiki kejahatan terhadap Rohingya selama hampir lima tahun. Penyelidikannya tidak hanya terhambat oleh kurangnya akses ke negara itu tetapi juga karena Myanmar telah mengalami kekacauan sejak militer menggulingkan pemerintah terpilih yang dipimpin oleh pemenang Nobel Aung San Suu Kyi pada tahun 2021, yang memicu gerakan perlawanan yang dimulai dengan protes damai dan kemudian berkembang menjadi pemberontakan bersenjata di berbagai bidang.
Para penyelidik menggunakan berbagai macam bukti dari keterangan saksi, termasuk dari sejumlah saksi orang dalam, bukti dokumenter, serta materi ilmiah, foto, dan video yang telah diautentikasi, demikian ungkap mereka.
“Keputusan jaksa penuntut ICC untuk meminta surat perintah penangkapan terhadap Letnan Jenderal Min Aung Hlaing muncul di tengah kekejaman baru terhadap warga sipil Rohingya yang sama dengan yang terjadi tujuh tahun lalu,” kata Maria Elena Vignoli, penasihat hukum senior di Human Rights Watch.
“Tindakan ICC merupakan langkah penting untuk memutus siklus pelanggaran dan impunitas yang telah lama menjadi faktor kunci dalam memicu pelanggaran massal oleh militer.” (far)