Haris juga melihat potensi konfliknya sudah terjadi, karena ada banyak warga kebingungan dalam pengurusan administrasi kependudukan. Sementara pemerintah pusat, dinilainya tutup mata atas persoalan tersebut.
Menurutnya, konflik agraria di Pulau Sumatera memang tinggi, terutama di Provinsi Sumatera Utara (Sumut) dan Bandar Lampung.
“Sumsel bukan yang paling tinggi tapi setiap kasus tetap buruk bagi korban. Korban tidak bisa dinilai dengan angka statistik. Akan banyak sengketa yang bakal muncul,”.
Beberapa potensi konflik yang kemungkinan bisa terjadi, yakni perampasan hak atas tanah, hak atas akses terhadap tanah untuk pekerjaan dan lainnya.
Namun, sengketa atas tanah yang tidak seimbang, akan menimbulkan banyak orang kehilangan pekerjaan. Di sisi lain, warga dipaksa mengurus lagi administrasi perubahan wilayah.
“Selama belum terurus, mereka kesulitan mendapatkan hak-hak sipil sebagai warga. Ditambah lagi, akibat tambang ada perusakan lingkungan. Dampak buruknya sumber daya alam,” katanya. (bam)