Menurutnya, kekurangan koordinasi kebijakan dan ketidakkonsistenan dalam implementasi menjadi hambatan besar. Ia juga menyoroti tantangan lain, seperti warisan masalah ekonomi berbiaya tinggi, ketidakpastian regulasi, dan stagnasi pertumbuhan ekonomi selama satu dekade terakhir. “Kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) sebesar enam persen menjadi preseden baru, namun pelaksanaannya masih dibayangi potensi politisasi dan ketidakpastian,” tambah Yose.
Ekonom Universitas Paramadina Wijayanto Samirin, memberikan pandangan mendalam mengenai kondisi fiskal yang berat. “Indonesia menghadapi era ‘make or break’. Tahun 2025-2026 akan menjadi periode kritis dengan beban utang yang jatuh tempo mencapai Rp1.600 triliun, sementara penerimaan negara menurun dan pengeluaran meningkat. Ini adalah tantangan besar yang membutuhkan penguatan penerimaan, efisiensi pengeluaran, dan perbaikan manajemen utang” jelas Wijayanto.
Ia juga mengingatkan pentingnya menciptakan iklim investasi yang kondusif. Ketidakpastian regulasi dan tingginya risiko pembalikan investasi portofolio (reversal) dapat melemahkan sektor moneter dan memperburuk kondisi pasar modal. “Regulasi terkait devisa hasil ekspor (DHE) dan sumber daya alam (SDA) perlu segera diperbaiki untuk menciptakan sumber pendanaan fiskal yang berkelanjutan” tambahnya.