Para pendukung amandemen itu, yang sebagian besar didukung oleh para anggota parlemen Syiah yang konservatif, memberikan pembelaan dengan menyebut amandemen tersebut menjadi sarana untuk menyelaraskan hukum dengan prinsip-prinsip Islam dan mengurangi pengaruh Barat terhadap budaya Irak.
Seorang aktivis HAM setempat, Intisar al-Mayali, yang juga anggota Liga Wanita Irak, menyebut diloloskannya amandemen UU Status Pribadi itu ‘akan meninggalkan dampak buruk pada hak-hak wanita dan anak perempuan, melalui pernikahan anak pada usia dini, yang melanggar hak mereka untuk hidup sebagai anak-anak, dan akan mengganggu mekanisme perlindungan untuk perceraian, hak asuh, dan warisan bagi perempuan’.
Sidang parlemen untuk memvoting amandemen UU itu berakhir ricuh dan dituding melanggar prosedur, karena ternyata amandemen diloloskan tanpa adanya suara mayoritas anggota parlemen.
“Separuh dari anggota parlemen yang hadir dalam sidang tidak memberikan suara, sehingga melanggar kuorum,” kata seorang pejabat parlemen Irak, yang enggan disebut namanya. Dia menyebut beberapa anggota parlemen memberikan protes keras dan yang lainnya memaksa naik ke podium.