IPOL.ID – Anggota Komisi II DPR Edi Oloan Pasaribu melontarkan kritik pedas terhadap kinerja Komisi Pemilihan Umum (KPU) terkait pelaksanaan Pemungutan Suara Ulang (PSU) Pilkada yang diperintahkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
Sebanyak 24 daerah harus menggelar PSU akibat putusan MK, sebuah fakta yang menurut Edi menunjukkan adanya ketidakcermatan KPU dalam proses verifikasi persyaratan calon kepala daerah.
“Berdasarkan putusan MK, ada 24 daerah yang harus menjalani PSU karena berbagai pelanggaran hukum dan administrasi. Ini menjadi pertanyaan besar, mengapa banyak persyaratan standar bisa lolos dari pengamatan KPU daerah? Seberapa kompeten sebenarnya penyelenggara di daerah? Dan apakah pemerintah daerah siap dengan pendanaannya untuk PSU?” ujar Edi dalam keterangannya dikutip Jumat (28/2).
Edi menyoroti persoalan pendanaan PSU di tengah upaya pemerintah melakukan penghematan anggaran. Meskipun putusan MK harus dijalankan, pemerintah tetap harus memastikan ketersediaan anggaran.
Komisi II DPR meminta agar pemerintah pusat, melalui Menteri Dalam Negeri, mengusulkan pendanaan PSU Pilkada kepada Menteri Keuangan RI.
Hal ini mengingat masih terdapat kekurangan pendanaan PSU dalam APBD Tahun Anggaran 2025 di 26 daerah.
“Sesuai dengan Pasal 166 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016, pendanaan kegiatan pemilihan dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dan dapat didukung oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Kami meminta agar laporan terkait hal ini disampaikan kepada Komisi II DPR RI paling lambat 10 hari setelah rapat kerja dan rapat dengar pendapat (RDP) ini,” demikian bunyi butir kesimpulan rapat.
Terkait pelaksanaan PSU di berbagai daerah, Edi berharap proses tersebut berjalan dengan baik, transparan, dan tidak menimbulkan masalah baru yang dapat mengurangi kepercayaan publik terhadap penyelenggaraan pemilu.
“Dengan pengawasan yang lebih cermat dan ketat, saya berharap PSU dapat berjalan dengan baik dan tidak menimbulkan permasalahan baru,” katanya.
Selain itu, Edi juga menyoroti bahwa putusan MK terkait kasus ijazah palsu dan masalah periodesasi merupakan bentuk maladministrasi yang dilakukan oleh KPU.
Dia menilai bahwa ketidakprofesionalan dan ketidakcermatan ini telah menyebabkan kerugian materi serta berdampak negatif terhadap kinerja KPU sebagai penyelenggara pemilu.
“Perlu ada evaluasi yang agresif dan radikal terhadap semua penyelenggara pemilu, karena ini merupakan masalah yang sangat serius. Saya juga berharap momentum ini dapat dimanfaatkan untuk menyusun undang-undang kepemiluan yang akan dibahas pada periode ini, sehingga produk UU Pemilu ke depan bisa lebih efektif dan efisien,” katanya. (far)