Sementara itu, Ketua Umum Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Spesialis Telinga Hidung Tenggorokan Bedah Kepala Leher Indonesia (PERHATI-KL), dr. Yussy Afriani Dewi, menekankan bahwa jika tidak ada langkah pencegahan, jumlah penderita gangguan pendengaran akan meningkat menjadi 700 juta pada tahun 2050. “Gangguan pendengaran yang tidak tertangani juga memiliki konsekuensi ekonomi yang besar, dengan potensi kerugian global mencapai 980 miliar USD per tahun,” jelasnya.
Dr. Yussy menambahkan bahwa penyebab gangguan pendengaran sangat beragam, termasuk faktor genetik, komplikasi saat melahirkan, infeksi telinga, paparan bising, penggunaan obat ototoksik, serta proses penuaan. “Gangguan pendengaran dapat berdampak pada kemampuan bicara dan komunikasi, meningkatkan risiko demensia, serta membatasi akses pendidikan dan pekerjaan. Hal ini dapat mengurangi kualitas hidup seseorang serta meningkatkan beban ekonomi akibat biaya perawatan yang lebih tinggi,” jelasnya.
Menurutnya, sekitar 60% penyebab gangguan pendengaran sebenarnya dapat dicegah. Indonesia menargetkan penurunan angka gangguan pendengaran menjadi kurang dari 1,7% dari total populasi pada tahun 2030. Skrining dan deteksi dini menjadi langkah penting dalam memastikan gangguan pendengaran dapat segera ditangani.