Gus Habib, sapaan akrab Habibur Rochman, menilai keterlibatan ASN dalam politik praktis pun ditengarai karena alasan transaksional. Hal itu tak hanya terjadi di satu daerah saja.
“Kemarin saya sempat sentil terkait dengan Mojokerto, karena itu kelihatan mata. Ada beberapa kepala dinas yang saya ketahui terlibat aktif langsung dukung-mendukung, dan kemudian mengampanyekan calon tertentu,” paparnya.
Menurutnya, tukar tambah politik transaksional yang dilakukan ASN dalam pemilu harus menjadi substansi evaluasi.
“Artinya apa? Kalau misalkan jabatan kepala dinas dan lain-lain didapatkan dengan cara seperti itu, ya jangan heran meraka membantu, kemudian menjadi tim sukses. Padahal dia jelas-jelas bagian dari abdi negara yang tidak boleh ikut campur dan terlibat langsung,” ujarnya.
Praktik dukung-mendukung dalam gelaran pemilu, menurutnya, memiliki daya rusak demokrasi yang tinggi, termasuk mengoyak tatanan sistem merit di tubuh birokrasi.
“Itu kan paling pada ujungnya politik transaksional. Kalau nanti semisal ada bosnya yang didukung jadi, dia akan menjadi kepala dinas, sekda, dan lain-lain. Terus bagaimana kita menerapkan sistem merit? Meritokrasi yang selama ini kita ketahui dalam Pasal 1 UU No. 5/2014 untuk melindungi setiap ASN dari ancaman politik praktis malah begitu mudahnya dilanggar,” tandasnya.(sofian)