Peni menyoroti beberapa pasal dalam revisi ini, seperti Pasal 3, Pasal 7, Pasal 47, dan Pasal 53, yang mengatur perluasan penempatan prajurit aktif di kementerian dan lembaga dari sebelumnya 10 menjadi 14. Menurutnya, kebijakan ini berpotensi mengancam kebebasan sipil dan meningkatkan risiko konflik kepentingan dalam pemerintahan.
Hadi Rahmat Purnama, Direktur Pusat Kajian Hukum, HAM, dan Gender LP3ES, turut menyoroti cepatnya proses pengesahan RUU TNI. Ia mengkritik bagaimana RUU ini langsung dimasukkan ke dalam Prolegnas pada Februari dan disahkan pada Maret, sementara banyak rancangan undang-undang lain yang lebih mendesak justru tertunda. “Proses legislasi yang terburu-buru seperti ini tidak seharusnya terjadi dalam negara demokratis,” tegasnya.
Hadi menekankan bahwa hukum harus ditegakkan tidak hanya dari segi materi, tetapi juga dari proses yang transparan dan akuntabel. Ia juga mengingatkan bahwa partisipasi masyarakat dalam penyusunan kebijakan harus dijamin agar keputusan yang diambil mencerminkan kepentingan rakyat, bukan hanya elite politik.