Dalam konteks sejarah, Hadi mengingatkan bahwa ketegangan antara militer dan politik sipil dapat merugikan demokrasi. “Masyarakat tidak menginginkan kembalinya praktik di era Orde Baru, di mana militer dan kepolisian menjadi alat politik” ujar Hadi. Ia juga menegaskan bahwa reformasi seharusnya difokuskan pada institusi kepolisian yang semakin terlibat dalam urusan sipil, bukan justru memperkuat peran militer dalam pemerintahan.
Ahmad Khoirul Umam, Direktur Paramadina Graduate School of Diplomacy, menyoroti kurangnya transparansi dalam proses legislasi RUU TNI. Menurutnya, pembatasan akses informasi dan minimnya keterlibatan masyarakat menunjukkan bahwa proses ini tidak dilakukan secara terbuka. “Proses legislasi seharusnya dilakukan dengan lebih transparan agar masukan dari organisasi masyarakat sipil dapat diakomodasi dengan baik,” paparnya.
Ia juga mengkritisi ketidakjelasan aturan mengenai perpanjangan batas usia pensiun TNI, yang dinilai menguntungkan perwira tinggi tertentu tanpa jabatan jelas. Umam memperingatkan tentang bahaya mengulang sejarah di mana militer memiliki pengaruh besar dalam politik. “Meskipun tingkat kepercayaan publik terhadap TNI cukup tinggi saat ini, kita harus tetap waspada agar tidak mengulangi kesalahan masa lalu” tambah Umam.