Namun, hal ini tak melulu soal religiusitas. Di sisi lain ruang sidang, muncul pula tipe terdakwa yang justru tampil menggoda. Beberapa perempuan muda yang tersandung kasus pidana ringan kerap hadir dengan busana mencolok—rok di atas lutut, kemeja terbuka dua kancing, make-up tebal. Sebagian pengacara menyebut ini sebagai “strategi visual”, berharap mendapat simpati—atau bahkan pengaruh—di ruang sidang yang seharusnya steril dari permainan persepsi.
Pertanyaannya, bagaimana seharusnya terdakwa berpakaian di ruang pengadilan? Apakah ada aturan baku soal busana yang mencerminkan kesopanan, netralitas, dan tidak menyisipkan pesan simbolik tertentu?
Dalam praktiknya, Mahkamah Agung memang tidak mengatur secara rinci soal kostum terdakwa, selain imbauan agar “berpakaian sopan dan rapi”. Tetapi sopan versi siapa? Rapi menurut siapa? Tanpa standar yang tegas, ruang sidang bisa menjadi panggung ekspresi bebas yang justru mengaburkan esensi hukum: menimbang fakta, bukan fesyen.
Perlu ada pembicaraan terbuka soal ini. Bukan untuk mengekang hak berpakaian, melainkan menjaga marwah peradilan. Busana terdakwa seharusnya tak menjadi alat komunikasi simbolik yang membentuk opini. Entah itu kesan bertobat atau godaan visual, keduanya sama-sama dapat menyimpang dari prinsip dasar: semua terdakwa adalah manusia yang setara di hadapan hukum.