Harapannya, diskusi ini dapat menjadi kontribusi konstruktif dalam mendukung proses reformasi keamanan di Indonesia secara berkelanjutan.
Peneliti PRP BRIN dari Klaster Konflik, Pertahanan, dan Keamanan, Muhamad Haripin menekankan bahwa reformasi sektor keamanan harus didasarkan pada prinsip demokrasi, profesionalisme, dan kontrol sipil yang kuat. “Penting juga membedakan peran institusi keamanan seperti TNI dan Polri agar tidak melampaui mandatnya. Terutama dalam konteks politik dan sipil,” tuturnya.
Ia juga mengingatkan bahwa keamanan tidak hanya mencakup aspek tradisional seperti teritorial dan militer, tetapi juga menyangkut jaminan terhadap kebebasan sipil, akuntabilitas institusi, serta keterbukaan anggaran dan proses hukum.
Menurutnya, dalam sistem demokratis aktor-aktor keamanan seperti TNI, Polri, Badan Intelijen Negara (BIN), hingga instansi lain seperti Kejaksaan Agung dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), dituntut bekerja secara transparan, efisien, dan tidak terlibat dalam aktivitas di luar mandat mereka.
Lebih lanjut, ia menggarisbawahi meningkatnya partisipasi masyarakat sipil terhadap isu revisi UU TNI dan rencana revisi UU Polri sebagai sinyal positif demokrasi. Ia mencatat adanya gelombang protes pada lebih dari 40 kota. Juga, reaksi cepat masyarakat terhadap rancangan kebijakan yang dinilai belum mencerminkan prinsip pengawasan dan transparansi yang memadai.
Dalam konteks tersebut, ia mengingatkan bahwa reformasi keamanan yang efektif sangat bergantung pada iklim demokrasi yang sehat dan partisipatif. Ia pun mengajak akademisi, media, dan organisasi non-pemerintah untuk terus mendorong pengembangan wacana akademik dan kebijakan publik yang memperkuat kontrol sipil. Serta, tata kelola sektor keamanan yang inklusif dan bertanggung jawab.
“Modernisasi sistem pertahanan harus berjalan beriringan dengan penguatan aspek demokrasi, bukan sebagai pengganti atau justifikasi terhadap pelemahan akuntabilitas,” ucapnya.