Oleh: Agusto Sulistio – eks Kepala Aksi & Advokasi PIJAR Semarang era 90an, Pendiri The Activist Cyber.
IPOL.ID – Praktek korupsi saat ini semakin parah, meski di era sebelumnya korupsi telah terjadi. Terkait ini, pemerintah harus mengevalusi dan merubah semua sistem kebijakannya terkait proses pencegahan korupsi dan penegakkan hukum.
Meminjam istilah Rizal Ramli saat mengevaluasi perjalanan 25 tahun reformasi dalam acara ILC (Indonesia Lawyer Club) minggu lalu, bahwa saat ini adalah era demokrasi “sure pay”, demokrasi pasti bayar, demokrasi berbayar. Bahwa saat ini begitu marak terjadi praktek demokrasi berbayar, yang mana uang berada di posisi yang paling atas, dan uang dapat mengatur apapun.
Karena itu korupsi menjadi merajalela, di sana-sini ada korupsi. Praktek korupsi sepertinya sudah menjadi budaya bangsa saat ini.
Penulis sangat meyakini pendapat Rizal Ramli (RR) saat memberikan pandangannya di HUT InDEMO dan peringatan MALARI (15 Januari 2023), dihadapan para aktivis senior dan lintas angkatan, RR jelaskan bahwa untuk mencapai demokrasi yang diharapkan diperlukan perubahan sistem. Tidak saja perubahan pada sistem anti korupsi, pengawasan, penegakkan hukum, namun juga pada sistem elektoralnya.
Salah satu penyebab rusaknya demokrasi dan maraknya korupsi adalah penerapan sistem presidential threshold 20 persen (PT). Sebab PT memaksa parpol yang tak lolos PT 20 persen harus berkompromi dengan partai lain untuk berkoalisi. Dari sinilah kemudian muncul syarat-syarat yang dapat menabrak demokrasi dan terjadinya korupsi di kemudian hari.
Tentu capres yang menang dalam pilpres, kelak ketika menjadi presiden terpilih, mau tak mau harus tunaikan janji-janjinya dengan parpol pengusung.
Sejarah per-pilpresan kita, khususnya setelah Amandemen UUD 1945, pemilihan umum secara langsung, kenyataan di lapangan uang menjadi penentu menang atau kalah. Seiring jalannya waktu, pemilih menjadi terbiasa, bahwa memilih capres, kepala daerah, legislatif, dan utusan daerah harus ada uangnya. Pemilih menjadi tak memiliki rasionalitas dalam menentukan pilihannya.
Demokrasi menjadi semakin rusak dan brutal, ketika lembaga kontrol pemerintah dilemahkan oleh para relawan capres. Para relawan capres yang dianggap berjasa diberi hadiah jabatan di berbagai lembaga pengawasan, akhirnya fungsi pengawasan negara menjadi lemah.
Civil Society yang seharusnya berdaya menjadi lemah, sebab unsur masyarakat telah dipecah-pecah dan terjebak pada dukung mendukung capres, cakada, caleg. Mereka yang seharusnya di posisi bersatu memperkuat civil society sebagai alat kontrol pemerintah menjadi lemah dan tak berdaya.
Relawan capres, caleg, cakada yang dibentuk terus digunakan untuk mengamankan posisi jabatan kandidat terpilih. Tak heran jika kini para relawan berpihak kepada majikannya, bukan mengedepankan aturan dan konstitusi.
Semestinya relawan-relawan capres, caleg, cakada berhenti fungsinya setelah pemilu usai. Meraka para relawan dan pendukung kembali ke posisinya sebagai masyarakat civil society yang selalu kritis mengawasi jalannya pemerintahan.
Keberpihakan sesungguhnya saat kita berada dalam bilik suara (TPS), dimana saat itu kita harus menentukan pilihan, dan itu hanya membutuhkan waktu sekitar lima menit saja.(Yudha Krastawan)