IPOL.ID – Infrastruktur penanggulangan banjir lahar dingin dari Gunung Merapi, bendungan Sabo-Dam atau kantong lahar, yang terletak di Bronggang, Sleman saat ini dijadikan lahan pertanian oleh sebagian warga setempat dikarenakan tanahnya yang subur.
Kepala Balai Teknik Sabo-Dam Fery Mpun Hepy menjelaskan area Sabo-Dam difungsikan sebagai kantong lahar untuk mencegah luapan aliran lahar hujan dari Gunung Merapi. “Dengan cara menampung sedimen endapan aliran lahar dan mengalahkan aliran lahar ke tengah palung sungai,” jelas Fery.
Kementerian PUPR terus melanjutkan pembangunan dan rehabilitasi Sabo Dam untuk mengantisipasi banjir lahar dari Gunung Merapi.
Tercatat dari 2018-2020, telah dibangun tujuh Sabo-Dam baru yang tersebar di Kabupaten Magelang dan Sleman. Disekitar wilayah Gunung Merapi, selain potensi banjir dan longsor, perlu diantisipasi terjadinya banjir lahar akibat letusan Gunung Merapi.
“Untuk itu, sejak 1969 dilaksanakan program pengendalian banjir lahar Gunung Merapi guna menanggulangi dampak erupsi. Salah satunya lewat pembangunan Sabo Dam” kata Ferry.
Menurut Fery, Sabo berasal dari bahasa Jepang, “sa” yang berarti pasir dan “bo” yang berarti pengendalian. Teknologi sabo pertama kali diperkenalkan di Indonesia 1970 oleh tenaga ahli teknik sabo dari Jepang, Mr. Tomoaki Yokota.
“Saat itu teknologi sabo dipandang sebagai salah satu alternatif terbaik untuk penanggulangan bencana alam akibat erosi, aliran sedimen. Sabo-Dam merupakan terminologi umum untuk bangunan penahan, perlambatan dan penanggulangan aliran lahar yang berpotensi terlanda lahar,” katanya.
Selain sebagai pengendali lahar akibar erupsi gunung berapi, sabo dam juga bermanfaat sebagai pengendali erosi hutan dan daerah pertanian serta mencegah bahaya longsor. Material pasir dan batu-batuan yang tertahan di sabo dam juga dapat dimanfaatkan masyarakat sebagai sumber penghasilan. “Pasir dan batu yang hanyut bersama lahar dingin Merapi sangat berkualitas baik dan yang terbaik di antara pasir dan batu lainnya di dunia,” jelas Fery. Kawasan yang pernah tertutup atau dilewati lahar dingin Merapi selalu meninggalkan ‘pupuk alami’ bagi pertanian, sehingga sangat subur.
Di lokasi yang sama pula ada alur sungai Kali Gendol yang juga dimanfaatkan warga untuk tanaman beberapa komoditas pangan. Sawah menjadi komoditas yang paling dominan, sisanya ada pisang dan cabai.
Di tempat yang sama, Ketua Relawan Desa Tangguh Bencana Argomulyo, Partono mengatakan, warga telah diizinkan otoritas untuk menanam sawa dan komoditas pangan lain di area tersebut.
“Untuk petani ini memang sengaja diperbolehkan karena apa? Karena mereka sudah diberitahu ini cuman berhak menggarap, tapi memiliki tidak bisa,” ujar Partono.
Dia memastikan, warga punya kesadaran tinggi akan potensi bencana letusan Gunung Merapi, termasuk dampaknya terhadap area yang digarap menjadi lahan sawah itu.
Insiden yang paling mengerikan adalah letusan dahsyat Gunung Merapi pada 2010 silam. Kejadian itu membuat banjir lahar dingin di 15 sungai yang berhulu di Gunung Merapi, sehingga menimbulkan kerusakan lingkungan di sekitar bantaran sungai.
Selain menimbulkan kerugian materi, lahar hujan juga mengancam keselamatan warga yang tinggal maupun beraktivitas di sekitar sungai. “Bila nanti terjadi sesuatu atau tidak diinginkan, mereka sudah sadar semua, untuk petani semua sudah mengikhlaskan karena mereka sadar, mereka cuman menggarap, bukan hak mereka,” paparnya.
Partono mengaku, aktivitas pertanian sudah dilakoni warga sejak 5 tahun lalu. Selama periode itu, sudah puluhan kali warga memanen hasil tanam mereka, sehingga perekonomian warga mencukupi. (Vit)