IPOL.ID – Buku berjudul “Dunia Hoegeng, 100 Tahun Keteladanan” resmi diluncurkan. Buku ini diluncurkan dalam rangka 100 tahun Pak Hoegeng yang ditulis oleh wartawan senior Farouk Arnaz.
Keluarga besar mantan Kapolri Hoegeng yang diwakili anak kedua Hoegeng, Aditya Hoegeng mengungkapkan ide penulisan buku ini muncul dari Komisaris Jenderal (Purn) Drs. Nanan Soekarna dan Kepala Badan Pemelihara Keamanan (Kabaharkam) Komjen Arief Sulistyanto.
Pada saat ia bertemu dengan kedua orang tersebut, Didiet sapaan akrab Aditya, disarankan menulis buku yang berisi tentang sosok Kapolri kelima itu dari segi humanisnya. Saran itu dilatarbelakangi karena sebelumnya sudah ada buku-buku tentang Hoegeng tentang kedinasan.
Setelah itu, Nanan Soekarna dan Kabaharkam Komjen Arief Sulistyanto mengenalkan Didiet dengan seorang wartawan senior yakni Farouk Arnaz. Selama kurun waktu empat bulan dan beberapa kali revisi, buku berjudul
“Buku Dunia Hoegeng, 100 Tahun Keteladanan” dalam rangka 100 tahun Pak Hoegeng berhasil diterbitkan,” kata Aditya di sela-sela peluncuran buku tersebut di Jakarta Selatan seperti dikutip dari laman AntaraNews, Minggu (7/11).
Selepas itu, lanjut dia, tepat 14 Oktober 2021 atau 100 tahun Hoegeng, keluarga besar dan penulis mendatangi istri dari Hoegeng yakni Meriyati Roeslani di daerah Depok Jawa Barat untuk menyerahkan buku yang telah diselesaikan tersebut.
Sekilas isi buku tersebut menceritakan tentang sosok Hoegeng Iman Santoso yang meninggalkan warisan mempertahankan prinsip, menjaga integritas, dan dedikasi. Kapolri kelima yang berkisah tentang keteguhan menjabat mulai 1968 hingga 1971 itu adalah sosok langka yang sulit dicari padanannya mulai dulu hingga kini.
Tak hanya sendiri, Hoegeng juga mengajak serta keluarganya untuk terjun memasuki kehidupan yang penuh idealisme dan antikompromi yang sesungguhnya tak pernah mudah itu. Hoegeng tidak mau berkhianat dan berkongsi dengan kebatilan.
Ia menjaga nama baik dan sumpah dengan perbuatan nyata bukan sekadar kata-kata. Sepak terjang Hoegeng yang tak bisa disetir membuat gerah para “tuan besar” sehingga ia kehilangan jabatannya. Namun, Hoegeng tak pernah menyesali langkahnya.
Ia bahkan bergabung dengan Petisi 50 pada tahun 1980 yang lantang mengkritik penguasa saat itu yang dianggap mulai melenceng.
Buku tersebut juga berisi testimoni orang-orang terdekat Hoegeng dari ‘dapurnya’ Hoegeng yang tanpa dukungan, keikhlasan, dan pengertian mereka.
Perjuangan sosok Hoegeng sangat berat. Sebab, Hoegeng adalah seorang suami, Hoegeng adalah ayah, dan Hoegeng adalah kakek.
Selain itu, buku tersebut juga berisi tiga kasus menonjol di akhir karier Hoegeng sebagai Kapolri dan kebijakan-kebijakan Hoegeng semasa menjadi Kapolri yang terekam dalam berbagai media massa.
Peluncuran buku tersebut dilakukan di salah satu restoran di daerah Jakarta Selatan dan dihadiri langsung oleh anak, cucu hingga cicit serta sejumlah pejabat negara hingga kalangan partai politik. []