Saya tidak tahu bagaimana harus menerjemahkan cancel culture ke dalam bahasa Indonesia. Tapi melihat konteksnya, cancel culture baiknya diterjemahkan menjadi budaya penolakan. Atau budaya pengucilan.
Korban terbesarnya –dan terbarunya– adalah Donald Trump. Presiden Amerika pada masanya itu. Ia ditolak untuk ”tetap bersama kita”. Ia dikucilkan.
Yang melakukan penolakan adalah Twitter, Facebook, dan YouTube. Trump dibredel secara permanen di medsos itu.
Perdebatannya adalah: siapa sebenarnya yang berhak melakukan cancel. Dalam hal apa cancel boleh dilakukan. Politik? Ekonomi? Gaya hidup? Atau di semua bidang?
Lalu siapa yang boleh di-cancel. Apa saja kriteria cancel itu.
Lebih rumit lagi: apakah budaya cancel tidak melanggar hukum? Lebih tinggi mana filsafat atau hukum? Mengapa ada tindakan ”menghukum” di luar hukum?
Bacaan pun melebar ke mana-mana. Termasuk ke sejarah: kapan cancel culture itu dimulai? Di mana?
Ternyata saya harus ke Yunani. Ke zaman tahun 500 sebelum Masehi. Internet benar-benar tanpa batas. Dari kamar sebuah rumah sakit bisa menjelajah ke perpustakaan mana pun di dunia. Zaman benar-benar gila!