indoposonline.id – Pemerintah Indonesia diminta menahan diri menanggapi kudeta militer Myanmar. Respons terhadap kudeta berpotensi dianggap sebagai intervensi terhadap urusan Myanmar. ”Sebaiknya, Indonesia menahan diri,” tutur Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia Prof. Hikmahanto Juwana, melalui pernyataan tertulis, di Jakarta, Senin (1/2/2021).
Pada Piagam ASEAN (Perhimpunan Bangsa-Bangsa di Asia Tenggara, red) di Pasal 2 Ayat 2 huruf e disebutkan negara-negara ASEAN tidak akan melakukan intervensi (non-interference) masalah domestik suatu negara. ”Oleh karena itu, sikap Indonesia menghormati dengan tidak melakukan apa-apa sampai ada kepastian dari pemerintah yang sah,” tegas Hikmahanto.
Militer Myanmar melakukan kudeta terhadap pemerintahan demokratis. Menahan penasihat negara Aung San Suu Kyi, Presiden Win Myint, beberapa politisi partai pemenang pemilihan umum Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD), dan sejumlah aktivis.
Selanjutnya, militer menetapkan status darurat satu tahun. Status darurat ditetapkan karena militer menilai pemerintah gagal mengatasi sengketa daftar pemilih pada pemilihan umum 8 November 2020 dan meredam aksi protes massa di beberapa daerah.
Hikmahanto berpendapat Pemerintah Indonesia cukup mengamati perkembangan situasi di Myanmar dan memberi peringatan kepada warga negara Indonesia (WNI) di negara tersebut atau yang berencana pergi ke Myanmar. ”Indonesia harus membiarkan pemerintahan kudeta melakukan konsolidasi,” ucapnya.
Sebelumnya, pemerintah Indonesia, melalui Kementerian Luar Negeri (Kemenlu), meminta seluruh pihak menahan diri dan mengedepankan dialog sebagai cara menyelesaikan masalah. ”Indonesia meminta seluruh pihak tunduk pada prinsip-prinsip Piagam ASEAN, mematuhi aturan hukum, tata kelola pemerintahan yang baik, prinsip-prinsip demokrasi, dan pemerintahan yang konstitusional. Indonesia juga menggarisbawahi bahwa seluruh sengketa pemilihan umum dapat diselesaikan lewat mekanisme hukum yang tersedia,” ungkap Kemenlu. (mgo)