indoposonline.id – Deforestasi menjadi perhatian berbagai pihak. Tidak hanya dari pemerintah, termasuk akademisi dan NGO. Upaya mengurangi deforestasi-yang menjadi salah satu penyebab banjir, longsor dan perubahan iklim-saat ini terus dilakukan.
Berbagai kebijakan dan program Pemerintah dianggap telah mampu menurunkan angka deforestasi. Terutama sejak tahun 2016. Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, laju deforestasi menurun setiap tahun.
Yakni dari 820 ribu hektar (2015-2016) menjadi 490 ribu hektar (2017-2018). Dan menjadi 439 ribu hektar.
Pengamat Kebijakan Kehutanan dari IPB, Dodik Ridho Nur Rahman mengatakan banyak cara untuk menekan laju deforestasi. Misalnya dengan membuat nilai tambah hutan lindung.
“Atau kita harus membuat nilai hutan revenue nya lebih mahal dari sawit. Itu untuk mempertahankan hutan,” ujar Dodik saat diskusi terkait upaya penurunan Deforestasi Hutan, di Jakarta, Rabu (31/3/2021).
Upaya itu menurutnya sudah ada yang membuahkan hasil. Misalnya, di hutan Gunung di kawasan Lampung sekarang sudah hijau. Dulunya tidak hijau.
“Masyarakat senang, di sana juga ditanam alpukat durian dan sebagainya. Dulu hutan lindung itu rusak. Sekarang sudah hijau dan bahkan hasil hutannya Rp 400 juta. Hutan lindung harus mampu melindungi. Cara melindungi hutan bisa dengan meningkatkan nilai tambah. Seperti menanam buah, alpukat, durian,” ujarnya.
Sementara itu, peneliti dari Kemitraan, Herry Sulityo mengatakan, faktor penyebab deforestasi, untuk profit. Karena itu perlu ada aturan yang melarang deforestasi.
“Motivasi orang untuk tidak melakukan deforestasi karena ada kebijakan yang melarang deforestasi,” ujarnya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Kemitraan, Laode M. Syarif mengatakan, saat ini, sudah banyak literatur yang mengkaji tentang deforestasi dan menjelaskan penyebab deforestasi. Tetapi belum banyak yang menjelaskan faktor penurunan deforestasi itu dalam studi yang lebih detil.
“Oleh karena itu, Kemitraan bagi Pembaruan Tata Kelola Pemerintahan melakukan studi yang dapat mengelaborasi faktor-faktor penjelas fenomena penurunan deforestasi di Indonesia. Selain itu, studi ini juga mencoba membuat simulasi turning point deforestasi dalam skenario implementasi kebijakan penurunan deforestasi,” ujarnya.
Lebih lanjut Laode M. Syarif menjelaskan, penurunan angka deforestasi terkait erat dengan implementasi kebijakan pengelolaan hutan, khususnya moratorium perijinan di hutan alam dan lahan gambut, penegakan hukum sektor kehutanan, penanganan kebakaran hutan dan lahan, tata kelola tenurial dan faktor sosial, ekonomi, dan politik.
“Hal-hal tersebut yang kami anggap sangat berpengaruh terhadap deforestasi di Indonesia, menjadi penyebab langsung dan tidak langsung”,
ungkapnya.
Dalam studi ini menunjukkan bahwa deforestasi berkaitan langsung dengan pertumbuhan ekonomi
pada periode tahun 2000 sampai 2012. Tetapi pada periode sesudahnya, dari tahun 2012 sampai
2018, laju deforestasi berbanding terbalik dengan laju pertumbuhan ekonomi nasional.
Studi ini juga melakukan proyeksi tentang kapan akan terjadi zero deforestasi, dimana angka reforestasi lebih besar dibanding laju deforestasi. Jika pemerintah tidak melakukan terobosan berartidalam pengelolaan hutan lestari dan tetap melakukan kebijakan ‘business as usual’, diproyeksikan pada tahun 2040 Indonesia akan mendekati garis irreversible.
“Yaitu kondisi dimana deforestasi tidak
bisa dipulihkan kembali dengan total forest-loss 55juta ha. Pemerintah harus melakukan terobosan kebijakan dan program agar mampu menekan laju deforestasi dan mencapai kondisi zero
deforestasi,” pungkasnya. (msb/dri)