Keesokan harinya, Royce membawa istrinya ke dokter kandungan lain. Yang sejak awal menangani sang istri. Hasil pemeriksaannya sama: bayi itu telah meninggal dunia di kandungan.
Harus diapakan?
Harus dioperasi. Tapi jangan dioperasi hari itu. Di layar USG masih terlihat ari-arinya belum ikut mati. Masih bergerak-gerak. Demikian juga air ketubannya, masih cukup banyak.
“Harus ditunggu satu minggu lagi. Baru boleh dioperasi,” ujar dokter seperti yang ditirukan Royce.
Selama seminggu menunggu itu Royce banyak merenung: kenapa itu terjadi. Apa hubungannya dengan pertengkarannya –ia menyebut bukan pertengkaran, tapi rebutan– dengan bapaknya. Mengapa pula terjadi hanya sehari setelah ia berulang tahun.
Royce pun ambil sikap: yang utama menenangkan sang istri dulu. Yang hari-hari berikutnya sulit tidur. “Saya dampingi terus istri,” katanya.
“Kami berdua sudah berusaha maksimal. Termasuk disiplin ke dokter,” ujar Royce kepada sang istri.
“Ini sama sekali bukan salah kita. Berarti ini kehendak bayi itu sendiri,” ujar Royce lagi.