IPOl.ID – Badan Keahlian DPR RI dengan Universitas Pancasila mengadakan kerja sama kemitraan dalam bidang Pendidikan, Penelitian, dan Pengabdian Masyarakat. Kerja sama ini ditandai oleh dengan ditandatanganinya Memorandum of Understanding (MoU) oleh Rektor Universitas Pancasila, Prof. Dr. Edie Toet, S.H., M.Si., FCBArb dan Kepala Badan Keahlian DPR RI, Dr. Inosentius Samsul, S.H., M.Hum. Kegiatan ini berlangsung secara blended, tentunya dengan mematuhi protokol kesehatan.
Dalam acara itu Rektor Universitas Pancasila, Prof. Dr. Edie Toet, S.H., M.Si., FCBArb menyampaikan bahwa pihaknya menyambut gembira kerja sama ini, karena bernilai strategis sebab menggandeng DPR. “Dalam menyandang nama Universitas Pancasila, kami mempunyai beban yang tidak ringan karena kami memiliki beban filosofis, dan nilai, yakni Pancasila. Tentu ini merupakan hal yang sangat baik ketika kita bekerja sama dengan DPR mengenai bagaimana mengimplementasikan Pancasila,” ujar Edie Toet dalam sambutannya.
Kepala Badan Keahlian DPR RI, Dr. Inosentius Samsul, S.H., M.Hum menyampaikan bahwa Badan Keahlian mempunyai komitmen yang sangat kuat mengenai kerja sama ini, di antaranya mengenai penguatan nilai-nilai Pancasila. UP telah membuka ruang tersebut, maka kami berterima kasih juga untuk sama-sama mengurus negara. Sejak saya dilantik sebagai kepala badan, saya melihat pentingnya evident base legislation making.
“Oleh karena ini, maka kami ditunjuk untuk membuat sesuatu yang dimulai dari suatu diskusi yang baik untuk membuat suatu RUU atau APBN yang baik tapi pada kenyataannya masih kurang sehingga kami harus berpartner dengan perguruan tinggi,” ujar Inosentius.
Dikatakan Badan Keahlian DPR RI juga bersedia untuk menjadi mitra magang di Universitas Pancasila sehingga dapat meringankan beban UP dalam berbagi ilmu dan wawasan. Knowledge management yang ada di Universitas Pancasila pun sebaliknya dapat diimplementasikan di Badan Keahlian DPR RI. Keduanya berharap bahwa kerja sama ini terlaksana dan tidak hanya menjadi slipping MOU.
Setelah pemaparan dari bapak Kepala Badan Keahlian DPR RI, selanjutnya adalah penandatanganan MOU. Setelah MOU ditandatangani, bergulir ke acara berikutnya yakni Focus Group Discussions tentang Rancangan Undang-Undang Keimigrasian.
Pembicara pertama dibuka oleh bapak Prof. Dr. Iman Santoso, S.E., S.H., M.H., M.M. Beliau menyampaikan mengenai Perubahan Paradigma Keimigrasian Dunia dan Pengaruhnya Pada Politik Hukum Keimigrasian Indonesia. Beliau berpandangan bahwa Masyarakat yang pada tiap detiknya mengalami penambahan, menyebabkan timbulnya masalah kompleks dalam bidang Imigrasi dikarenakan berbagai aspek dirinya ikut bergerak. Ideologi, pemahaman, aliran, politik, sosial budaya dan masih banyak lagi. Usia UU No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian yang 9 tahun dan dinamisnya bidang keimigrasian maka, Beliau juga menyarankan untuk Perlu diadakannya perubahan dan evaluasi secara mendalam terhadap UU tersebut dan untuk segera disusun draft penyempurnaan sesuai dengan paradigma keimigrasian saat ini.
Acara kemudian dilanjutkan dengan pemaparan dari Dekan Fakultas Hukum Universitas Pancasila, Prof. Eddy Pratomo, S.H., M.A. Beliau menyampaikan hukum keimigrasian berada pada 2 (dua) lingkup hukum, yaitu Hukum Internasional yang mengatur kinerja dan hubungan antar bangsa-bangsa dan negara-negara di dunia; dan Hukum Nasional yang mengatur kedaulatan dan keamanan nasional dengan menjaga dan mengawasi alur keluar masuk. Keimigrasian merupakan penegak kedaulatan negara dan garda terdepan dalam menjaga kedaulatan Indonesia.
Pemateri ketiga Dr. M. Alvi Syahrin, S.H., M.H., C.L.A dari Politeknik Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM RI Alvi. Beliau mengatakan bahwa upaya rekonstruksi norma pemidanaan RUU Keimigrasian dapat dilakukan melalui 4 cara, yaitu a) ditetapkan batasan norma tindakan administrasi keimigrasian dan penyidikan terhadap suatu peristiwa hukum; b) adanya kategorisasi pelanggaran kejahatan dan pelanggaran keimigrasian; c) perumusan konsep pidana minimum dalam ketentuan pidana keimigrasian; dan d) penambahan asas ultimum remedium dalam penegakan hukum pidana keimigrasian.
Alvi Syahrin menutup pemaparannya dengan memberikan empat usulan mengenai penguatan norma dalam RUU Keimigrasian, Pertama, Prinsip Kebijakan Selektif Keimigrasian harus dimasukkan dalam batang tubuh undang-undang dalam bentuk pasal, bukan hanya disebutkan di bagian penjelasan undang-undang; Kedua, hadirnya konsep Pengadilan Keimigrasian untuk merespon upaya hukum keberatan terhadap proses Tindakan Administratif Keimigrasian, sebagaimana yang telah diterapkan di Inggris dan Selandia Baru; Immigration Tribunal; Ketiga, penguatan konsep pencegahan (preventif) berupa penolakan dan penangkalan, bukan penindakan (represif) karena tugas dan fungsi keimigrasian menitikberatkan kepada selektifitas, keamanan, dan kedaulatan negara; dan yang terakhir Integrasi Konsep Perbatasan CIQ+ (Customs, Immigration, Quarantine) yang dalam pelaksanaannya didukung oleh Badan Nasional Penjaga Perbatasa (BNPP).
Pemaparan akhir dari Dosen Fakultas Hukum Universitas Pancasila, Dr. Lisda Syamsumardian, S.H., M.H. Beliau membuka pemaparannya dengan meninjau hukum keimigrasian perspektif kedaulatan negara. Keimigrasian merupakan ilmu yang mutidisipliner, sehingga dalam pembahasan dan penyusunannya tidak hanya dilihat dari satu persepektif (perspektif HAM) saja. Ketidakjelasan regulasi di Indonesia mengenai penanganan pengungsi, sehingga timbul beberapa permasalah hukum, yaitu kekosongan hukum, kekaburan, dan tumpang tindih antara satu produk dengan produk lainnya. Kekosongan hukum dapat dilihat dari tidak diaturnya pengawasan terhadap pengungsi dan pencari suaka; Untuk kekaburan dapat dilihat dari tidak ada penjabaran secara jelas terkait kategori orang asing; dan yang terakhir, tumpang tindih antara Perpres No. 125 tahun 2016 dan UU No. 6 tahun 2011. Bahwa dala Perpres No. 12 tahun 2016 terkait pengawasan keimigrasian terhadap Pengungsi dam Pencari Suaka, tidak sesuai dengan konsep pengawasan keimigrasian. Peraturan Presiden yang kedudukannya lebih rendah seharusnya tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, yaitu Undang-undang.
Kemudian Lisda menjelaskan bahwa dalam mekanisme pengaturan pengawasan pengungsi dalam fungsi pengawasan keimigrasian kedepan dalam pasal 66-74, terdapat tiga langkah, Pertama, Perluasan Pemaknaan Pengawasan Orang Asing tidak hanya bersifat HAM saja, tetapi juga mempertimbangkan aspek administrasi pemerintahan dalam rangka penegakan hukum keimigrasian dan kedaulatan negara; Kedua, memperjelas Fungsi Pengawasan Imigrasi Dalam Ruang Lingkup Perjanjian Internasional dengan cara memperjelas fungsi penegakan terhadap WNA Tanpa Dokumen serta dalam penegakannya dapat mempertimbangkan hukum nasional sesuai dengan kesepakatan internasional; dan yang terakhir, Sistem Pengawasan Keimigrasian Satu Pintu, yaitu dengan cara memperkuat sistem intelijen, memperkuat manajemen pengawasan perbatasan, serta memperkuat sistem koordinasi dan informasi dengan imigrasi-imigrasi pada negara se-Asia dan negara-negara di dunia.
Ia sampaikan tiga saran mengenai pengaturan pengawasan pengungsi yang dapat diimplementasikan dalam RUU Keimigrasian, yaitu, Indonesia perlu mengajak 3 pihak terkait pengungsi (negara asal, negara transit, dan negara tujuan) membicarakan metode pengawasan yang tepat. Pengaturan pengawasan imigrasi terhadap pengungsi itu melihat perspektif keamanan negara; bukan hanya HAM tapi juga kedaulatan negara; Penerimaan selektif terhadap orang asing dengan mempertimbangkan aspek keamanan, kestabilan politik, sosial, budaya, dan aspek-aspek lainnya; dan Penambahan frasa pencari suaka dan pengungsi sebagai salah satu kategori dalam definisi Orang Asing. (msb/s)