indoposonline.id – Penyidik pidana khusus Kejaksaan Agung (Kejagung) memeriksa jajaran petinggi Lembaga Pembiayaan Ekspor Nasional Indonesia (LPEI).
Terperiksa adalah PSNM, Kepala Departemen Pembiayaan Usaha Kecil dan Menengah (UKM) periode tahun 2015-April 2018.
Dia diperiksa terkait penyidikan kasus dugaan korupsi dalam Penyelenggaraan Pembiayaan Ekspor Nasional oleh LPEI.
“PSNM diperiksa dengan kapasitas sebagai saksi ya,” ujar Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Leonard Eben Ezer Simanjuntak di Jakarta, Senin (9/8).
PSNM dikonfirmasi oleh penyidik soal pemberian fasilitas kredit LPEI kepada PT Jasa Mulia Indonesia. “Diperiksa tentang pemberian fasilitas kredit pada jasa mulya Indonesia tahun 2014 sampai 2017,” jelas Leonard.
Adapun penyidikan kasus penyelenggaraan pembiayaan ekspor nasional oleh LPEI berdasarkan Surat Perintah Penyidikan Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Nomor: Print-13/F.2/Fd.2/06/2021 tanggal 24 Juni 2021.
Semula, LPEI diduga telah memberikan fasilitas pembiayaan kepada sembilan debitur. Yaitu, Group Walet, Group Johan Darsono, Duniatex Group, Group Bara Jaya Utama, Group Arkha, PT Cipta Srigati Lestari, PT Lautan Harmoni Sejahtera dan PT Kemilau Harapan Prima serta PT Kemilau Kemas Timur.
“Pembiayaan kepada para debitur tersebut sesuai laporan sistem informasi manajemen resiko dalam posisi colektibility 5 (macet) per tanggal 31 Desember 2019,” ungkap Leonard.
Namun, LPEI didalam penyelenggaraan pembiayaan ekspor nasional kepada para debitur diduga dilakukan tanpa melalui prinsip tata kelola yang baik. Sehingga berdampak pada meningkatnya kredit macet/non performing loan (NPL) pada 2019 sebesar 23,39%.
“Berdasarkan laporan keuangan per 31 Desember 2019, LPEI diduga mengalami kerugian tahun berjalan sebesar Rp4,7 triliun. Jumlah kerugian dikarenakan adanya pembentukan cadangan kerugian penurunan nilai (CKPN),” kata Leonard.
Selanjutnya berdasarkan statement dilaporan keuangan 2019, pembentukan CKPN di tahun 2019 meningkat 807,74% dari RKAT dengan konsekuensi berimbas pada provitabilitas (keuntungan). Kenaikan CKPN untuk meng-cover potensi kerugian akibat naiknya angka kredit bermasalahan yang disebabkan oleh kesembilan debitur tersebut.
“Salah satu debitur yang mengajukan pembiayaan kepada LPEI tersebut adalah S, Dirut dari tiga perusahaan Grup Walet yaitu PT Jasa Mulia Indonesia, PT Mulia Walet Indonesia dan PT Borneo Walet Indonesia,” paparnya.
Namunctim pengusul dari LPEI yang terdiri dari Kepala Departemen Unit Bisnis, Kepala Divisi Unit Bisnis, dan Komite Pembiayaan diduga tidak menerapkan prinsip-prinsip sebagaimana yang telah ditentukan dalam Peraturan Dewan Direktur No. 0012/PDD/11/2010 tanggal 30 November 2010 tentang Kebijakan Pembiayaan LPEI.
“Akibatnya menyebabkan debitur, yakni Group Wallet yaitu PT Jasa Mulya Indonesia, PT Mulya Walet Indonesia dan PT Borneo Walet Indonesia dikategorikan Colectibity 5 (macet), sehingga gagal bayar sebesar Rp683,6 miliar yang terdiri dari nilai pokok Rp576 miliar ditambah denda dan bunga Rp107,6 miliar,” tutup Leonard. (ydh)