IPOL.ID – Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia (LSI), Djayadi Hanan mengungkapkan bahwa dalam dua setengah tahun menjelang 2024 ada tiga lapis pengelompokan para calon presiden mendatang dari berbagai survei.
“Terdapat figur papan atas publik seperti Prabowo, Anies Baswedan dan Ganjar Pranowo yang berbeda tipis dalam popularitas,” kata Djayadi dalam Diskusi Online Forum Ekonomi Politik “Misteri dan Serba Serbi Capres Dini” yang diselenggarakan secara virtual oleh Universitas Paramadina, seperti dalam siaran persnya, Jumat (3/9).
Menurut Djayadi, jika survei nasional menggunakan sampel 1.200 dalam margin error kisaran 2,9 persen maka perbedaan antara para calon tersebut berada dalam rentang 2 kali margin of error, atau tidak terlalu signifikan perbedaannya. “Jadi ketiga orang itu memang front runner saat ini,” katanya.
Dosen senior Ilmu Politik di Universitas Paramadina ini memberikan catatan bahwa dari ketiga orang itu juga tidak ada nama yang dominan. Angka mereka berada pada kisaran 20an persen jika diadu dengan banyak nama.
“Jika pada 2024 nanti ada tiga pasang calon yang paling mungkin misalnya, maka ketiga orang tersebut akan disebut mencapai angka dominan jika telah mencapai angka popularitas 30-35 persen diantara 10-15 nama. Tetapi saat ini angka mereka baru sekitar 20-25 persen saja,” terang Djayadi.
Ia membandingkan dengan pilpres sebelumnya Prabowo dan Jokowi memang menjadi calon-calon yang dominan ketimbang calon yang lain. “Artinya, pilpres 2024 mendatang masih membuka peluang bagi siapapun untuk leading. Karena saat ini belum ada yang dominan,”.
Kemudian ada papan tengah (10 besar) terdapat nama AHY, Sandiuno, dan seterusnya. Terdapat juga nama-nama yang berada di luar 10 besar terpopuler seperti Puan Maharani, Cak Imin, dan Airlangga Hartarto yang menariknya adalah para figur partai politik.
Djayadi juga mengungkapkan alasan mengapa para calon di luar 10 besar memilih stragegi memasang baliho, iklan di TV, sosmed untuk meningkatkan popularitas. “Akan sangat sulit peluang yang diperoleh jika popularitas masih di bawah 70 persen,” ujar dia.
“Mengapa yang dipilih ada baliho dan televisi ketimbang medsos? Karena tingkat kepedulian publik pada medsos di Indonesia masih di bawah 60 persen dibanding TV yang berdasar survei penduduk masih 80 persen selalu ditonton oleh warga masyarakat,” tutup Djayadi. (rob)