IPOL.ID – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diminta mewaspadai celah hukum yang dapat meloloskan pelaku tindak pidana korupsi, khususnya terkait gratifikasi dari jeratan hukuman.
“Banyak celah hukum yang bisa dimanfaatkan untuk dipakai membebaskan koruptor, dan alasan hakim belum ada ketentuan bagi orang yang memberi gratifikasi,” ujar Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI), Boyamin Saiman, Kamis (2/9).
Boyamin menyampaikan hal tersebut menyusul vonis bebas terhadap terdakwa pemberi suap dan gratifikasi kepengurusan terminasi kontrak perjanjian karya perusahaan pertambangan batubara (PKP2B), Samin Tan, Senin (30/8).
Samin Tan dibebaskan karena tidak terbukti melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dalam dakwaan alternatif pertama dan kedua yang diajukan oleh jaksa penuntut umum KPK.
Majelis hakim beralasan, perbuatan pemberi gratifikasi belum diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 yang diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Boyamin berujar, sebetulnya sudah ada aturan bagi penerima maupun pemberi gratifikasi untuk dapat dikenakan proses hukum. Itu sebagaimana termaktub dalam Pasal 11 dan Pasal 12 UU Tipikor. Namun dalam perjalanannya, aturan tersebut masih saja diabaikan
“Kedepan mestinya saya juga akan maju ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk memperjelas itu bahwa pemberi gratifikasi ya dikenakan proses hukum,” ujarnya.
Selain itu, Boyamin juga menambahkan, celah hukum lainnya yang dapat membebaskan pelaku tindak pidana korupsi adalah revisi UU KPK. Karena dengan revisi UU tersebut, KPK dapat membuka peluang untuk melepas pelaku tindak pidana korupsi melalui penerbitan SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan).
“Nah karena SP3 ini, otomatis semangat dari penyidik juga turun untuk membuat sempurnanya berkas perkara. Karena toh nanti juga (perkara) boleh dihentikan atau nanti dibawa ke pengadilan divonis bebas, ya sudah tidak apa-apa. Untuk itu, sudah saatnya KPK kembali kepada UU lama,” kata Boyamin.(ydh)