IPOL.ID-Indeks Harga Saham gabungan (IHSG) Bursa Efek Indonesia (BEI) pada Kamis sore ditutup melemah dibayangi kenaikan jumlah kasus positif Covid-19 di Indonesia.
IHSG ditutup melemah 23,8 poin atau 0,35 persen ke posisi 6.683,85. Sementara kelompok 45 saham unggulan atau indeks LQ45 turun 1,95 poin atau 0,21 persen ke posisi 945,94.
“Dari dalam negeri, sentimen utama bagi pergerakan IHSG yaitu kasus positif COVID-19 Indonesia yang akhir-akhir ini kembali meningkat,” kata analis fundamental Kanaka Hita Solvera (KHS) Raditya Pradana saat dihubungi di Jakarta, Kamis (3/2/2022).
Jumlah kasus harian terkonfirmasi positif COVID-19 di Tanah Air pada Rabu (2/2) kemarin mencapai 17.895 kasus sehingga total kasus mencapai 4,39 juta kasus. Khusus untuk kasus positif varian Omicron telah mencapai 3.161 kasus.
Sejak 24 Januari 2022, kasus positif COVID-19 di Indonesia selalu mengalami peningkatan, bahkan memasuki gelombang ketiga. Raditya menilai kondisi tersebut tentunya menjadi katalis negatif bagi bursa.
“Harapannya kasus positif COVID-19 tidak kembali bertambah sehingga tidak mengganggu jalannya bisnis dan perekonomian,” ujar Raditya.
Kendati demikian, Raditya menilai makroekonomi Indonesia masih solid. Inflasi tahunan Indonesia meningkat 2,18 persen pada Januari 2022 dari 1,87 persen pada Desember 2021, level tertinggi dalam 20 bulan terakhir, serta diatas konsensus pasar sebesar 2,15 persen.
Menurut Bank Indonesia, inflasi saat ini masih terkontrol karena masih berada dalam kategori rendah.
“Ke depan, Bank Indonesia kami proyeksikan akan tetap konsisten dalam menjaga stabilitas harga dan memperkuat koordinasi kebijakan dengan pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah, guna menjaga inflasi sesuai kisaran targetnya 3 plus minus 1 persen pada 2022,” kata Raditya.
Sementara itu, sektor manufaktur Indonesia meningkat solid. Indeks IHS Markit Manufaktur Indonesia meningkat ke 53,7 pada Januari 2022 dari 53,5 pada bulan sebelumnya dan merupakan peningkatan selama lima bulan berturut-turut saat kondisi bisnis yang membaik.
Ditambah pula pesanan baru mengalami peningkatan dalam tiga bulan dan ekspor juga meningkat signifikan. Dari segi harga, kenaikan biaya input mereda dari dari puncak pada Desember, sementara kenaikan harga output tetap solid dan sedikit berubah dari Desember.
Dari eksternal, lanjut Raditya, sentimen masih terkait kenaikan suku bunga oleh bank sentral Amerika Serikat The Federal Reserve.
Risalah rapat The Fed pada 5 Januari 2021 mengisyaratkan bank sentral mungkin harus menaikkan suku bunga lebih cepat dari yang diharapkan alias bersikap hawkish.
Kenaikan suku bunga tersebut bertujuan untuk menurunkan tingkat inflasi AS yang sudah terlalu tinggi terutama pada akhir tahun 2021.
“Kenaikan suku bunga yang pertama mungkin akan dilakukan pada Maret 2022. Kondisi ini menjadi katalis negatif bagi pasar saham,” kata Raditya. (bam)