IPOL.ID – Muhammad Syukur Mandar, Ketua Gerakan Golkar Baru, menilai Partai Golkar sudah waktunya bertransformasi politik. Tentunya dalam terminologi sebagai partai politik yang modern.
“Dalam sejarahnya, Golkar memang enggan mengambil peran-peran oposisi dalam suatu pemerintahan. Golkar selalu ada dalam kekuatan politik pendukung pemerintah, meskipun faktanya pada saat pemilu Golkar kalah menjadi rival dengan Capres pemenang pemilu. Tipologi politik Golkar ini dalam kacamata politik dapat dikategorikan partai penganut paham opurtunis,” kata Muhammad Syukur Mandar dalam keterangan tertulisnya yang diterima ipol.id, Minggu (21/2).
Dia menjelaskan, Golkar sangat terlatih dan telaten melayani pemerintah. Sikap loyal Golkar kepada pemerintah diterjemahkan kaku.
Akibatnya Golkar lupa mengasah jati dirinya sebagai sebuah partai politik yang modern. Di mana salah satu fungsinya adalah mengagregasi kepentingan rakyat.
“Gaya politik Golkar di era kepemimpinan AH (Airlangga Hartarto) ini, kembali lagi membawa Golkar menyerupai hidup di zaman Orde Baru. Kebiasaan Golkar sebagai anak emas rezim, di mana Golkar terbiasa menang pemilu karena campur tangan kekuasaan faktanya hari ini dihidupkan lagi. Padahal dalam kekuasaan saat ini, Golkar itu anak tiri bukan anak kandung kekuasaan,” kritiknya.
Untuk diketahui, pada 2004 Golkar berhasil menangkan pemilu karena Akbar Tandjung mampu menjual platform baru Golkar sebagai partai terbuka, modern dan demokratis. Hal ini ditunjukan Akbar Tandjung dengan menggelar konvensi capres.
“Sudah waktu Golkar harus ditransformasi gaya politik dan sistem kerja partai. Gaya politik yang dibangun AH dalam kurun waktu memasuki empat tahun ini, sangat menyita waktu Golkar. Golkar hilang kesempatan berbenah dan mereformasi diri. Posisi politik Golkar sebagai partai pendukung pemerintahpun tak memiliki nilai bergening kuat. Bahkan nampak Golkar boneka kekuasaan yang sekedar ada dan melengkapi,” katanya lagi.
Tipologi politik Golkar ini hanya akan sehat pada ekosistem politik yang otoriter, totaliter, dan pemilu yang dikendalikan rezim. Tak usah kita belajar jauh jauh ke bangsa lain, di Indonesia, PDIP berhasil menangkan pemilu sejak 2014-2019, bahkan masih unggul survei dengan dari semua partai.
Salah satu variabel pendukungnya adalah kemampuan PDIP membangun sikap oposisinya di era pemerintahan Presiden SBY dan saat ini PDIP-pun nampak kiritis, meskipun garda utama pendukung Jokowi.
Muhammad Syukur Mandar menjelaskan, Partai Golkar memiliki doktrin politik, selalu dan akan tetap berada di dalam struktur kekuasaan meskipun kalah dan atau tak ikut menangkan presiden di pemilu.
Tradisi Golkar ini sesungguhnya tidak lagi tepat dan bukan lagi zamannya. Sebab, pertama, pemilu saat ini tidak bisa lagi diatur sesuai kehendak kekuasaan seperti orde baru. Meskipun sepenuhnya pemilu kita belum jujur dalam pelaksanaannya.
Pemilu kita sudah mulai terbuka, tingkat pengawasan masyarakatnya cukup baik, dan pemilihnya pun sudah kritis, memilih partai dengan melihat rekam jejaknya. Itulah mengapa partai yang oposisi dan atau pendukung pemerintah tetapi tetap kritis pada kepentingan rakyat selalu mendapat insentif dari pemilih.
“Jadi jangan heran jika survei belakangan ini, PDIP terus meningkat, mendapat insentif dari pemilih pro pemerintah dan kadernya semakin loyal,” tuturnya.
Pada sisi lain, PKS dan Demokrat, juga mendapatkan hal yang sama dari pemilih yang kontra dengan pemerintah dan para kadernya semakin loyal. Sementara Partai Golkar, mengalami erosi dukungan kader, tidak mendapatkan insentif pemilih baik pro maupun kontra pemerintah. “Tidak hanya itu, Golkar juga mulai diserang kadernya karena sikapnya yang oportunis,” pungkasnya.