IPOL.ID – Menjelang akhir Ramadhan 1443 H, muncul pertanyaan apakah membayar zakat fitrah dengan uang atau beras?
Menjawab pertanyaan ini, Rais Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Bahaudin Nursalim atau Gus Baha menjelaskan, zakat fitrah boleh menggunakan uang asalkan setara dengan takaran yang telah ditentukan, yaitu satu sha’ atau empat mud.
“Saya sendiri memilih membayar zakat fitrah menggunakan uang yang setara dengan lima kilogram beras,” kata Gus Baha dalam salah satu tayangan YouTube yang dikutip NU Online, Jumat (29/4).
Alasannya, pemberian uang ditekankan karena orang lebih membutuhkan uang untuk berbelanja daripada beras yang umumnya mereka sudah punya.
“Saya zakat selalu 3 kg, tidak pernah 2,5 kg. Karena 2,5 kg itu pas-pasan. Makanya saya zakat pertama itu 3 kg, sekarang 5 kg tapi dalam bentuk uang,” ucapnya.
Dia tak menampik bagi mazhab Syafi’i, zakat fitrah yang dikeluarkan harus berupa beras. Namun, menurut mazhab Hanafi dari Abu Hanifah, zakat diperbolehkan menggunakan dinar atau uang.
“(Mohon maaf) ini bukan berarti tidak menghargai ketetapan Imam Syafi’i. Tapi sekarang orang kalau mau kasih beras, terus yang untuk belanja mana? Inginnya belanja kok dikasih beras,” kata Pengasuh Pondok Pesantren Tahfidz Alquran LP3IA Narukan, Rembang itu.
Dahulukan Kerabat Dekat
Dalam kesempatan itu, diceritakan pula bahwa dirinya seringkali ditanya bagaimana cara penyaluran zakat yang benar, lebih baik diberikan kepada panitia masjid atau diberikan sendiri langsung kepada mustahiq.
Jawabannya, kata Gus Baha, jika niat muzaqi bercampur dengan curiga terhadap panitia masjid, maka zakat sebaiknya diberikan kepada masjid. “Kalau kamu dengki ingin mengomentari panitia masjid, saya jawab, mending kamu berikan masjid biar sifat dengkimu itu kamu lawan sendiri,” terang dia.
Sebaliknya, sambung dia, jika pertanyaan itu objektif sesungguhnya menentukan siapa yang akan menerima zakat fitrah itu lebih mudah, yakni dahulukan kerabat dekat.
“Aturan Alquran sudah jelas dahulukan orang yang punya unsur kerabat. Misalnya keponakan yang memang tidak wajib saya tanggung seperti istri/anak,” jelas ulama ahli tafsir Alquran dan Hadits asal Rembang itu.
Sebagai informasi, polemik berzakat menggunakan uang sudah banyak dibahas oleh sejumlah kalangan, termasuk Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LBM PBNU).
Dalam keputusannya, argumentasi atas kebolehan pelaksanaan kewajiban zakat fitrah dengan uang sebesar nominal harga beras 2,7 kg/2,5 kg dibangun atas pertimbangan di bawah ini.
Pertama, sebagian ulama menilai tujuan di balik kewajiban zakat sebagai hikmah saja yang tidak mengandung muatan hukum. Meski demikian, sebagian ulama lain yang membolehkan konversi zakat fitrah dari serealia (biji-bijian) ke bentuk uang menilai hadits Rasulullah SAW yang menjelaskan tentang tujuan di balik diberlakukannya kewajiban zakat fitrah, yakni agar pada hari itu para penerima zakat dapat menikmati hidup selayaknya orang yang mampu.
Kedua, sebagian ulama lain (lagi) membolehkannya selama tidak menghasilkan formulasi hukum yang bertentangan dengan ijma’. Apabila bertentangan dengan ijma’, maka perpaduan mazhab dilarang seperti perkawinan tanpa mas kawin, tanpa wali, dan tanpa saksi. Sungguh perpaduan semacam itu tidak diperbolehkan oleh seorang pun dari kalangan ulama.