IPOL.ID – Kelapa sawit sudah memberikan kontribusi yang sangat besar, terutama terhadap devisa negara. Sebab ekspornya mencapai lebih USD20 miliar bahkan dengan kenaikan harga, realisasi ekspor kelapa sawit berpotensi lebih dari USD30 miliar.
Jumlah tersebut merupakan angka yang urgent dan sigifikan dalam rangka menciptakan surplus neraca perdagangan Indonesia, maupun surplus neraca transaksi berjalan bagi Indonesia.
Terkait hal itu, Nusron Wahid, anggota Komisi VI DPR, mengatakan, di tengah tekanan ekonomi yang sangat berat saat ini, kalau tidak ada kelapa sawit tentunya akan berdampak negatif bagi Indonesia. Apalagi di sektor pangan lainya, bangsa ini mengalami negatif transaksi berjalanya maupun transaksi perdagangan.
Kontribusi kelapa sawit lainnya adalah terhadap produc domestic bruto (PDB), pengentasan tenaga kerja maupun multiflier effect ekonomi yang lainnya dari industri-industri turunan yang dihasilkan dari kelapa sawit.
“Apalagi perkembangan sawit di Indonesia sudah sangat masif dengan luasan hampir mencapai 15 juta hektare,” ungkap Nusron dalam program Wakil Rakyat Bicara Sawit, baru-baru ini.
Tinggal yang menjadi persoalan adalah dimensi keseimbangan antara produsen dan konsumen yang ada, karena dimensi itu sangat penting. Menurut anggota Fraksi Partai Golkar tersebut, harga TBS (tandan buah segar) turun adalah dampak pemerintah yang pada saat itu tidak mampu mengelola keseimbangan.
“Kami sebagai wakil rakyat mengimbau agar pemerintah mengambil kebijakan yang bijaksana. Supaya yang menjadi target benar-benar pelaku atau pengusaha nakal, yang menantang kebijakan pemerintah,” cetusnya.
Dia juga mengajak pengusaha agar jangan serakah-serakah amat. “Harusnya kebijakan pemerintah kemarin adalah kami hanya menerima ekspor minyak goreng atau CPO yang datangnya dari petani-petani kelapa sawit. Yang tidak dari petani kelapa sawit kami tidak mau terima,” saran Nusron.
Kebijakan ini akan berdampak positif lantaran bagi petani swadaya yang mau menyetorkan TBS ke pabrik yang tidak bekerja sama, atau terintegrasi dengan koperasi-koperasi tidak dibebani dengan kebijakan DMO (Domestic Market Obligation), pemerintah membolehkan ekspor. “Tetapi ini tidak dilakukan,” katanya. (ahmad)