IPOL.ID – Operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap Hakim Agung, Sudrajad Dimyati terus mendapatkan sorotan. Diketahui, penangkapan oknum Hakim Agung tersebut dilatarbelakangi adanya dugaan suap menyuap dalam pengurusan perkara di Mahkamah Agung (MA).
Pakar hukum Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar mengatakan, OTT Hakim Agung tersebut telah menunjukkan pembenaran indikasi bahwa biaya mengurus perkara di pengadilan itu mahal atau tinggi.
“Selain ongkos perkara, fee advokat, maka harus ditambah suap hakim supaya menang,” sindir Fickar kepada ipol.id, Minggu (25/9).
Pada kesempatan itu, Fickar juga menyinggung lemahnya pola rekrutmen Hakim Agung oleh Komisi Yudisial (KY). Dengan kebijakan rekrutmen tersebut, ia melihat pola pengawasan yang dilakukan KY terhadap Hakim Agung seolah terputus.
“Ternyata KY tidak bisa membina dan mengawasi kiprah para Hakim Agung yang telah direkrutnya, terutama yang memiliki track record juga baik,” singgung Fickar.
Selain itu, Fickar juga menilai, perbaikan sistem peradilan yang salah satu pilihannya memberikan gaji yang tinggi pada para Hakim Agung adalah gagal total. Karena perbaikan peradilan tidak cukup hanya dengan gaji besar. Ternyata dengan gaji besar, korupsi yang dilakukan oknum hakim diduga masih tetap jalan.
“Artinya harus ada pembinaan dalam bentuk lain, contohnya hukuman pemberhentian jika melanggar melanggar aturan,” tuturnya.
Lantas, Fickar menyinggung lemahnya kesadaran berbangsa Hakim Agung dan Hakim di MA. Pada umumnya sebagai bagian lembaga yudikatif, MA termasuk hakim di dalamnya seharusnya dapat menjalankan fungsi yang strategis, dengan menyelesaikan sengketa-sengketa di masyarakat.
“Dengan peristiwa (OTT) ini nampak kesadaran para hakim dalam berbangsa dan bernegara sangat lemah,” ketusnya.
Ditangkapnya oknum Hakim Agung Sudrajad Dimyati, lanjut Fickar, juga menunjukkan kegagalan lembaga peradilan atau hakim menjadi Dewa Keadilan.
“Seharusnya Hakim Agung sebagai hakim yang berada di puncak kekuasaan kehakiman tidak lagi tergiur dan memikirkan soal-soal yg bersifat materi, karena mereka sudah matang dan tua, yang seharusnya sudah tumbuh sebagai Dewa keadilan yang mumpuni,” lanjut Fickar.
Dengan peristiwa OTT ini, Fickar menambahkan, bahwa sistem pembuktian terbalik ternyata belum dilaksanakan dengan konsisten. Karena tidak tergambar kekhawatiran para pejabat termasuk para Hakim Agung dan Hakim pada umumnya, yang memiliki harta banyak yang perolehannya melawan hukum dengan pertanggung jawaban yang ketat.
“Kewajiban melapor LHKPN tidak berefek apa apa. Karena itu sebaiknya kita dorong segera disahkannya Undang-Undang tentang perampasan aset, karena menjadi sangat urgent dan relevan untuk disahkan, agar harta-harta pejabat publik yang illegal dapat dirampas oleh negara,” pungkasnya.(Yudha Krastawan)