IPOL.ID – Jaksa Agung Muda Pengawasan (Jamwas), Ali Mukartono telah melakukan perubahan paradigma dalam rangka meningkatkan kualitas kerja di bidang pengawasan.
Tak hanya itu, perubahan paradigma juga bertujuan untuk menekan pelanggaran kode etik oleh insan adhyaksa. Adapun paradigma yang telah dilakukan perubahan di antaranya, dari watchdog menjadi consultant dan catalyst.
“Sebagai watchdog, diartikan bahwa aparatur pengawasan berperan memantau kegiatan operasional serta memberikan peringatan jika terjadi penyimpangan dan berorientasi mencari kesalahan/temuan, sehingga tidak jarang muncul anggapan bahwa pengawasan cenderung mencari-cari kesalahan,” kata Ali dalam Rakernis Bidang Pengawasan Kejaksaan RI di Kejaksaan Agung, Rabu (28/9).
Sedangkan sebagai consultant, maksudnya aparatur pengawasan berperan memberikan saran untuk perbaikan dan ikut berpartisipasi secara aktif membantu manajemen melakukan berbagai tindakan perbaikan. Aparatur pengawasan harus aktif bertindak sebagai fasilitator dalam rangka mendiskusikan solusi yang tepat dalam memecahkan masalah.
“Sedangkan sebagai catalyst, aparatur pengawasan berperan untuk memotivasi, mengarahkan dan menegakkan seluruh bagian organisasi dalam lingkup seperangkat kebijakan yang telah ditetapkan serta memastikan tidak terjadi pelanggaran,” tandas Ali.
Seperti diketahui, Kejagung akhir-akhir ini telah melakukan pemecatan terhadap sejumlah oknum jaksa karena terbukti melakukan pelanggaran kode etik maupun pidana.
Mereka yang dipecat beberapa tahun terakhir ini salah satunya ialah jaksa Ahmad Fauzi. Ahmad Fauzi dipecat sebagai Jaksa maupun PNS karena terbukti menerima suap perkara pengalihan lahan di Sumenep, Jawa Timur, 2016 lalu.
Lalu, mantan Kepala Seksi Intelijen Kejaksaan Tinggi (Kejati) Bengkulu, Parlin Purba yang dipecat karena terbukti menerima suap proyek pembangunan irigasi dinding bawah Balai Wilayah Sungai Sunatera (BWSS)V VII Provinsi Bengkulu, 2017 lalu.
Terkini, Pinangki Sirna Malasari yang terbukti menerima suap, pencucian uang dan melakukan permufakatan jahat dengan terpidana Djoko S Tjandra untuk mendapatkan fatwa Mahkamah Agung (MA) pada 2020 lalu. (Yudha Krastawan)