IPOL.ID – Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI menyampaikan perkembangan hasil pengawasan terhadap sirop obat yang diduga mengandung cemaran Etilen Glikol (EG) dan Dietilen Glikol (DEG).
Berdasarkan hasil pengawasan rutin BPOM secara berkesinambungan, sirop obat yang beredar masih memenuhi persyaratan keamanan, khasiat, dan mutu. Terkait dengan sirop obat, BPOM telah melakukan tindakan regulatori berbasis risiko, berupa penelusuran sirop obat terdaftar dan beredar di Indonesia.
“Pelaksanaan sampling, dan pengujian secara bertahap terhadap sirop obat yang diduga mengandung cemaran EG dan DEG. Dalam pelaksanaan pengujian terhadap dugaan cemaran EG dan DEG dalam sirup obat, acuan yang digunakan adalah Farmakope Indonesia dan/atau acuan lain sesuai Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan sebagai standar baku nasional untuk jaminan mutu semua obat beredar,” sebut BPOM dalam keterangan tertulisnya, Kamis (20/10).
BPOM juga menyebutkan, sirop obat yang diduga mengandung cemaran EG dan DEG kemungkinan berasal dari empat bahan tambahan yaitu propilen glikol, polietilen glikol, sorbitol, dan gliserin/gliserol. Keempat bahan itu bukan merupakan bahan yang berbahaya atau dilarang digunakan dalam pembuatan sirop obat.
Sesuai Farmakope dan standar baku nasional diakui, ambang batas aman atau Tolerable Daily Intake (TDI) untuk cemaran EG dan DEG sebesar 0,5 mg/kg berat badan per hari.
“BPOM telah melakukan sampling terhadap 39 bets dari 26 sirup obat yang diduga mengandung cemaran EG dan DEG berdasarkan kriteria sampling dan juga pengujian”.
Di antaranya, diduga digunakan pasien gagal ginjal akut sebelum dan selama berada/masuk rumah sakit. Diproduksi oleh produsen yang menggunakan empat bahan baku pelarut propilen glikol, polietilen glikol, sorbitol, dan gliserin/gliserol dengan jumlah volume yang besar.
Kemudian diproduksi oleh produsen yang memiliki rekam jejak kepatuhan minimal dalam pemenuhan aspek mutu. Diperoleh dari rantai pasok yang diduga berasal dari sumber yang berisiko terkait mutu.
Hasil sampling dan pengujian terhadap 39 bets dari 26 sirop obat sampai dengan 19 Oktober 2022, menunjukkan adanya kandungan cemaran EG yang melebihi ambang batas aman pada lima produk, di antaranya :
1. Termorex Sirop (obat demam), produksi PT Konimex dengan nomor izin edar DBL7813003537A1, kemasan dus, botol plastik @60 ml.
2. Flurin DMP Sirop (obat batuk dan flu), produksi PT Yarindo Farmatama dengan nomor izin edar DTL0332708637A1, kemasan dus, botol plastik @60 ml.
3. Unibebi Cough Sirop (obat batuk dan flu), produksi Universal Pharmaceutical Industries dengan nomor izin edar DTL7226303037A1, kemasan Dus, Botol Plastik @ 60 ml.
4. Unibebi Demam Sirop (obat demam), produksi Universal Pharmaceutical Industries dengan nomor izin edar DBL8726301237A1, kemasan Dus, Botol @ 60 ml.
5. Unibebi Demam Drops (obat demam), produksi Universal Pharmaceutical Industries dengan nomor izin edar DBL1926303336A1, kemasan Dus, Botol @ 15 ml.
Namun demikian, hasil uji cemaran EG tersebut belum dapat mendukung kesimpulan bahwa penggunaan sirop obat tersebut memiliki keterkaitan dengan kejadian gagal ginjal akut. Karena selain penggunaan obat, masih ada beberapa faktor risiko penyebab kejadian gagal ginjal akut seperti infeksi virus, bakteri Leptospira, dan multisystem inflammatory syndrome in children (MIS-C) atau sindrom peradangan multisistem pasca COVID-19.
Terhadap hasil uji lima sirop obat dengan kandungan EG yang melebihi ambang batas aman sebagaimana tercantum pada poin 5, BPOM telah melakukan tindak lanjut. Yaitu dengan memerintahkan kepada industri farmasi pemilik izin edar untuk melakukan penarikan sirop obat dari peredaran di seluruh Indonesia.
Selain itu, dilakukan pemusnahan untuk seluruh bets produk. Penarikan mencakup seluruh outlet antara lain Pedagang Besar Farmasi, Instalasi Farmasi Pemerintah, Apotek, Instalasi Farmasi Rumah Sakit, Puskesmas, Klinik, Toko Obat, dan praktik mandiri tenaga kesehatan.
BPOM juga telah memerintahkan kepada semua industri farmasi yang memiliki sirop obat yang berpotensi mengandung cemaran EG dan DEG tuk melaporkan hasil pengujian mandiri sebagai bentuk tanggung jawab pelaku usaha. “Industri farmasi juga dapat melakukan upaya lain seperti mengganti formula obat dan/atau bahan baku jika diperlukan,” urai BPOM.
Hingga kini, BPOM bersama Kementerian Kesehatan, pakar kefarmasian, pakar farmakologi klinis, Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), dan pihak terkait lainnya masih terus menelusuri dan meneliti secara komprehensif berbagai kemungkinan faktor risiko penyebab terjadinya gagal ginjal akut atau Acute Kidney Injury (AKI).
BPOM mendorong tenaga kesehatan dan industri farmasi terus aktif melaporkan efek samping obat atau kejadian tidak diinginkan pasca penggunaan obat kepada Pusat Farmakovigilans/MESO Nasional melalui aplikasi e-MESO Mobile.
BPOM mengimbau masyarakat untuk waspada, menjadi konsumen cerdas, dan selalu memperhatikan hal seperti membeli dan memperoleh obat hanya di sarana resmi, yaitu Apotek, Toko Obat, Puskesmas atau Rumah Sakit terdekat.
Membeli obat secara online dapat dilakukan hanya di apotek yang telah memiliki izin Penyelenggara Sistem Elektronik Farmasi (PSEF). Secara berkesinambungan BPOM melaksanakan patroli siber (cyber patrol) pada platform situs, media sosial, dan e-commerce untuk menelusuri dan mencegah peredaran obat ilegal.
“Terapkan Cek KLIK yaitu Cek Kemasan dalam kondisi baik, Cek Label , Izin Edar, dan Kedaluwarsa) sebelum membeli atau menggunakan obat”. (Joesvicar Iqbal)