IPOL.ID – 80 mahasiswa Indonesia di Australia yang mendapatkan beasiswa 5.000 doktor dari Kementerian Agama (Kemenag)-Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP), mengalami kesulitan hidup di negeri orang.
Mereka juga kesulitan belajar karena beasiswa yang belum juga diterima. Endy Samputro salah seorang mahasiswa S3 di Adelaide mengungkapkan, uang beasiswa yang salah satunya diperuntukkan untuk biaya hidup sudah sekitar sembilan bulan tak kunjung diterima.
Dana yang tak kunjung cair itu membuat para mahasiswa terbebani secara finansial dan mental. “Bayangkan saja selama sembilan bulan biaya hidup tidak cair, mahasiswa yang bergantung hanya pada living allowance (tunjangan hidup) tentu akan merasa terbebani secara psikis,” katanya dikutip NU Online, Sabtu (29/10).
Meskipun hal itu tidak dialami secara langsung, dia merasakan betul kesulitan yang dihadapi oleh teman-teman sesama diaspora di Australia. “Saya sendiri tidak termasuk yang terlambat living allowance-nya sampai sembilan bulan tapi sesama awardee saya merasakan secara psikologis itu kena dampaknya,” ungkap dia.
Menurut penuturan Endy, dampak tersebut tentunya menggangu produktivitas mahasiswa. Gangguan psikologis ini tidak hanya menyerang psikis saja, tapi bisa menyebabkan sederet masalah fisik.
“Kita sesama awardee merasa simpati dan empati, kita saling menghibur satu sama lain tapi sekaligus kita juga kena secara psikologis akhirnya kita malah tidak fokus ngapa-ngapain,” tuturnya.
Melihat kondisi tersebut, dia sangat berharap agar pemerintah juga memikirkan kondisi psikologis yang dialami oleh para diaspora. Juga meminta agar pemerintah segera memberi kejelasan, pasalnya keterlambatan tunjangan seperti ini bukan kali ini saja, namun sering terjadi.
“Efek psikologis ini mereka perlu tahu dan perlu juga bersimpati dan berempati. Karena hal-hal seperti ini sebetulnya sangat jarang diungkapkan,” tandasnya.
Bekerja sebagai Tenaga Kebersihan
Kisah lain datang dari Imam Malik Riduan, salah satu mahasiswa S3 yang menjadi petugas kebersihan di salah satu sekolah di Sydney Barat. Padahal, dia merupakan kandidat PhD di School of Social Sciences, Western Sydney University.
Pekerjaan itu dilakoni lantaran Kementerian Agama (Kemenag) belum memberikan tunjangan hidup selama sembilan bulan ini. Karena itu, Imam harus memutar otak untuk bisa bertahan di Asutralia menyelesaikan kuliahnya.
“Saya bekerja enam jam per hari sebagai cleaner di public school di daerah Sydney Barat,’’ ujar Imam.
Sayangnya, uang dari hasil membersihkan sekolahan itu tidak cukup untuk menyewa kamar untuk tempat tinggal. Sehingga, untuk tidur, dia harus numpang ke teman-teman terdekatnya atau rumah milik warga Indonesia yang tengah pulang kampung.
“Saya pindah-pindah tempat tinggal supaya bisa menekan biaya hidup. Mulai dua hari lalu sampai seminggu ke depan saya tinggal di salah satu orang Indonesia yang sedang pulang kampung,” ungkap dia.
Imam berharap Kemenag segera memberikan uang beasiswa pada Oktober ini. Terlebih, berbagai upaya telah dilakukan dengan menemui Konsulat Jenderal RI di Sydney hingga berkomunikasi dengan Kemenag.
Alasan Kemenag terlambat mengirimkan dana pembayaran SPP karena adanya perubahan manajemen pengelola beasiswa. Padahal Kemenag berjanji segera menstransfer tuition fee paling lambat pada 31 Oktober.
Hal itu, lanjut dia, berdasarkan sebuah dokumen yang ditandatangani secara elektronik oleh Direktur Jenderal Pendidikan Islam Muhammad Ali Ramdhani. Adapun besaran beasiswa untuk tunjangan hidup 2.500 dolar Australia atau sekitar Rp24,9 juta. (ahmad)