Penulis: Muhammad Fatkhurrozi
IPOL.ID – Belt and Road Initiative (BRI), yang diluncurkan pada 2013 oleh Republik Rakyat China (RRC), memang unik. Sebagai sebuah proyek, BRI tidak mengusung satu bangunan spesifik, apakah itu pelabuhan, jalan, rel, atau bandar udara. Melainkan BRI adalah sebuah klaim terhadap berbagai macam proyek yang dikerjakan di berbagai negara (total 146 negara tercatat) yang di sana terdapat campur tangan RRC. BRI sejatinya hanyalah pentas kekuatan ekonomi RRC.
Jika ada satu kisah proyek BRI yang paling menarik, maka itulah Pelabuhan Hambantota. Pelabuhan di ujung selatan Sri Lanka tersebut menjadi selebritas, setelah dianggap proyek gagal dan konsesinya diambil alih RRC selama 99 tahun. Itu terjadi pada 2017. Pelabuhan Hambantota dianggap sebagai kisah nyata “jebakan utang” RRC ke negara ‘korban’ BRI.
Berbekal studi kelayakan dari Ramboll (konsultan Denmark), pemerintah Sri Lanka mencari partner pendanaan. Proposal kerja sama ditawarkan ke India dan Amerika Serikat, namun keduanya menolak ikut-ikutan. Mereka sadar bahwa proyek Pelabuhan Hambantota ini berpotensi besar merugi. China lalu tampil menjadi pahlawan. Fase pertama Hambantota lalu dibangun pada 2008. Bunga dikenakan sebesar 6,3 persen, bunga tetap, dengan periode ikhlas (grace period) empat tahun.