Oleh: Bagong Suyoto
Ketua Koalisi Persampahan Nasional (KPNas)
Banyak orang mendiskusikan dan aksi nyata melakukan pengolahan dan pengurangan sampah plasti. Plastik banyak jenisnya, seperti jenis PET (botol dan gelas mineral), plastik PP, kantong kresek (berbagai warna dan sablon), plastik LD, mainan, naso, PK, ember (berbagai warna), himpek, PVC, dll.
Biasanya kegiatan penyediaan bahan baku daur ulang hanya fokus beberapa jenis plastik, tidak semua ditangani. Karena membutuhkan modal dan infrastruktur yang besar. Bagi pelapak/usaha kecil menengah tak mampu menyediakan modal Rp 200 juta, Rp 500 juta, apalagi Rp 1 miliar. Belum lagi infrastrukturnya dan pelaratan kerja, seperti lahan minimal 500m2, hanggar/gudang, kalau pakai mesin press harganya Rp 65-85 juta/unit, pasang listrik 3 pas setidaknya Rp 15-20 juta, kendaraan angkut, timbangan, dll.
Jelas, kegiatan penyediaan bahan baku untuk industri daur ulang butuh modal besar. Sehingga tidak setiap komunitas, pengepul kecil menengah mampu menyediakan permodalan, teknologi, infrastruktur, kendaraan yang cukup. Semua itu harus didukung oleh perusahaan yang mengeluarkan produk tersebut.
Dalam mandat Pasal 15 dan 16 UU No.18/2008 tentang Pengelolaan Sampah dikatakan, produsen yang mengeluarkan plastik kemasan atau lainnya harus menanggung beban limbahnnya. Semakin besar limbah yang dikeluarkan semakin besar tanggung jawabnya. Itulah yang disebut Extended Producer Responsibility (EPR).
ERP sudah diterapkan di negara-negara Uni Eropa, setidaknya sejak tahun 1970-an. Sehingga mereka berhasil mengelola sampah plastiknya. Negara-negara industri maju secara konsisten dan ketat mengimplementasikan EPR. Sehingga sektor industri patuh terhadap regulasi yang ditetapkan negara. Seperti conto penerapan EPR di Korea Selatan.
Kapan pemerintah/negara Indonesia membuat dan menerapkan EPR dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP) guna mensukseskan pengelolaan sampah plastik di Indonesia? Hanya pemerintah dan legislatif yang berhak membuat kebijakan nasional dan regulasi EPR di Indonesia.
Selama ini, belasan mungkin ratusan tahun orang-orang kecil, sektor informal, seperti pemulung, pelapak, butuh sortir, kebersihan kota, dll yang mengurusi dan membersihan kotoran dari perusahaan pembuat botol/gelas mineral, kemasan, sachet, bungkus mie instan, dll.
Mereka ini telah mengurusi dan membersihkan kotoran sampah perusahaan, apa yang didapat?! Perusahaan tidak ada timbal baliknya. Tidak ada rasa peduli. Merupakan bentuk kedunguan luar biasa. Ini juga artinya tidak peduli terhadap masa depan keberlanjutan lingkungan hidup.
Kapan negara akan sadar dan segera menyusun kebijakan dan regulasi EPR?! Apakah harus menunggu perintah Presiden RI? Kapan perusahaan-perusahaan pencipta kemasan yang sampah sangat besar, mungkin lebih dari 25 persen mau menerapkan EPR dan peduli sama sektor informal yang mengurusi kotoran sampahnya? (peri)