IPOL.ID – Tuntutan dari Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada kasus dugaan korupsi izin persetujuan ekspor (PE) minyak sawit atau CPO kepada para terdakwa dinilai tidak berdasar, terutama penghitungan yang merugikan negara.
Sejumlah pakar hukum mempertanyakan tuntutan beragam dari 7-12 tahun dengan uang pengganti hingga puluhan triliun rupiah.
Pakar hukum pidana, Chairul Huda menyebutkan, tuntutan tersebut hal yang aneh. Menurutnya, uang pengganti itu hanya diterapkan bagi orang yang memperoleh pertambahan kekayaan dari tindak pidana korupsi.
“Jadi bagaimana mungkin mereka dituntut Rp10 triliun sementara tidak ada pertambahan kekayaan mereka sebesar itu,” katanya kepada wartawan, Selasa (27/12).
Dia menyebut, Jaksa melakukan tuntutan tidak berlandaskan hukum. Menurutnya, majelis hakim selayaknya menolak tuntutan tersebut, dan mempertimbangkan semua fakta di persidangan.
Dalam kasus ini, di persidangan lalu, terdakwa Stanley MA dituntut membayar uang pengganti Rp868.720.484.367,26 (miliar). Jika tidak dibayar maka diganti dengan hukuman penjara selama 5 tahun. Dan, Pierre Togar Sitanggang dituntut membayar uang pengganti Rp4.554.711.650.438 (triliun).
Jika tidak dibayar maka diganti dengan hukuman penjara selama 5 tahun dan 6 bulan. Sedang Master Parulian dituntut membayar uang pengganti Rp10.980.601.063.037 (triliun) jika tidak dibayar maka diganti hukuman penjara selama 6 tahun.
Di persidangan, JPU meminta hakim menegaskan, jika uang pengganti tidak dibayarkan maka harta benda milik terdakwa dan korporasi akan disita.
Terhadap tuntutan itu, Pakar Hukum Pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar juga menegaskan, tuntutan uang pengganti itu berbeda dengan ganti rugi. “Uang pengganti itu didasarkan pada perhitungan fakta yang riil, pemunculan sebuah jumlah harus didukung bukti dan perhitungan riil, jadi tidak asal memunculkan nominal saja tanpa rasionalusasi yang jelas,” katany.
Sedangkan, sambungnya, ganti rugi itu bisa bersifat subjektif. Artinya selain kerugian riil juga bisa ditambah dengan potensi, atau “keuntungan yang diharapkan” atau bunga atau kelebihan jumlah jika uang itu dikelola.
“Sehingga jumlahnya bisa sangat subjektif, yaitu pokok kerugian plus bunga, nah jika jumlah tuntutan Rp 10 triliun itu ada perhitungannya, maka itu cukup beralasan, tetapi jika asal sebut jumlah saja tanpa rasionalisasinya, maka itu bisa dikatakan ngawur,” ujar Fickar di kesempatan berbeda.
Kemudian Guru Besar Ilmu Kebijakan Pajak Universitas Indonesia (UI), Prof Haula Rosdiana juga mempertanyakan dasar tuntutan dan mengkritisi lebih jauh. Dia menyebut, dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-XIV/2016 pun disebutkan, kerugian yang terjadi dalam tindak pidana korupsi sulit dibuktikan secara akurat.
Di sisi lain, hingga saat ini belum ada aturan yang mengatur metode penghitungan kerugian perekonomian negara.
“Ini bertentangan dengan prinsip perumusan tindak pidana yang seharusnya memenuhi prinsip hukum harus tertulis, harus ditafsirkan seperti yang dibaca, tidak multitafsir. Kalau ini belum diatur bahaya, setiap orang nanti pakai metode berbeda sesuai seleranya, tidak ada kepastian dan standarisasi,” ungkapnya ketika dihubungi wartawan.
Haula yang juga sempat memberi keterangan di persidangan sebagai saksi ahli kasus minyak goreng (migor) menyampaikan bahwa metode menggunakan input-output (I-O) tak tepat. Sebab, metode itu biasanya digunakan untuk perencanaan pembangunan.
“Itu berarti bukan sesuatu yang real. Kita berbicara mengenai tuntutan hukum, berarti harus fakta hukum dong, kalau fakta hukum itu bukan prediksi atau asumsi. Saya sudah sampaikan juga, kok pakai tabel I-O tahun 2016, sekarang aja 2022,” bebernya.
Disampaikannya, padahal pengusaha mengalami kerugian, seperti dipaksa menjual minyak goreng sesuai harga eceran tertinggi (HET) saat harga CPO melambung. “Ada yang tidak dijelaskan dalam detail oleh ahli yang digunakan JPU, yaitu pengorbanan produsen berkaitan dengan HET itu, bagaimana dia tetap menjual meski sebetulnya itu sudah dibawah harga keekonomisan,” terang Haula.
Hal janggal lainnya adalah terkait tak dipertimbangkannya pemenuhan minyak goreng di pasaran (DMO) dan benefit ekspor menjadi pemasukan negara. “Bagaimana mungkin totalnya sekian, ini kita bicara hukum ya. Saya netral aja, saya prihatin kalau sesuatu tidak jelas itu dipaksakan, pakai metode apalagi nanti, mau bagaimana sementara UU belum pernah ngatur,” tandasnya.
Oleh karenanya, dia meminta agar ada kejelasan terkait hal ini dengan memberikan kepastian hukum. Jangan tiba-tiba menunjuk orang untuk menghitung kerugian negara tanpa metode jelas.
“JPU menuntut sesuatu sebetulnya belum jelas dan tidak bisa dihitung. Belum ada dasar hukum menentukan bagaimana dihitung dan siapa menghitung. Apakah betul negara hukum berlaku seperti itu, bisa nunjuk siapa aja. Harus kembali ke konstitusi kita bahwa kita ini adalah negara hukum,” pungkasnya.
Seperti diketahui, terdapat lima terdakwa dalam kasus ini. Di antaranya, mantan Dirjen Daglu Kementerian Perdagangan, Indra Sari Wisnu Wardhana dan tim asistensi Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Weibinanto Halimdjati alias Lin Che Wei.
Kemudian Komisaris PT Wilmar Nabati Indonesia Master Parulian Tumanggor, Senior Manager Corporate Affairs Permata Hijau Group Stanley MA dan General Manager bagian General Affairs PT Musim Mas Pierre Togar Sitanggang. (Joesvicar Iqbal/msb)