IPOL.ID – Situs Ratu Boko yang terletak di atas perbukitan Boko, di Jalan Raya Piyungan, No. 2, Gatak, Bokoharjo, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Sleman, dan Candi Perwara di Kompleks Candi Prambanan, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Jawa Tengah, merupakan peninggalan sejarah yang terjaga selama ini. Tidak sedikit para pelajar maupun mahasiswa dari berbagai penjuru kota di Indonesia berkunjung kedua tempat wisata tersebut, karena syarat edukasi akan sejarah.
Situs Ratu Boko sendiri berada di atas ketinggian 195,97 meter di atas permukaan laut dengan luas sekitar 160.898 meter persegi. Situs Ratu Boko merupakan peninggalan sejarah yang bercorak Hinduisme dan Budhisme.
Keraton Ratu Boko dibangun pada abad VII-IX Masehi (M). Pada waktu pertama kalinya l, situs itu adalah sebuah kompleks wihara sebagaimana tercatat dalam prasasti Abhayagiriwihara yang berangka Tahun 792 M.
Tinggalan arkeologi yang bersifat Budhisme lainnya yaitu reruntuhan stupa, arca Dhyani Buddha stupika.
Kemudian sekitar Tahun 856 M, situs itu berubah menjadi kediaman seorang penguasa bernama Rakai Walaing Pu Kumbhayoni yang beragama Hindu. Temuan Arkeologi berupa prasasti yaitu prasasti Ratu Boko a, b (berangka Tahun 856 M).
Kemudian prasasti Ratu Boko c semua mengandung keterangan tentang pendirian lingga, yaitu Lingga Krtivaso, Lingga Tryambaka, dan Lingga Hara.
Prasasti lain yang ditemukan yaitu prasasti Pereng (862 M) mengandung keterangan pendirian sebuah bangunan suci untuk dewa Siwa yaitu candi Badraloka.
Selanjutnya tinggalan Arkeologi lainnya yang bersifat Hinduisme adalah arca Durga, Ganesa, miniatur candi, yoni dan prasasti dari lempengan emas.
Komplek Kraton Ratu Boko sendiri dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Disebutkan pada Pasal 66 ayat (1), Setiap orang dilarang Cagar Budaya, baik seluruh maupun bagian-bagiannya, dari kesatuan, kelompok dan/atau dari letak asal.
Kemudian pada Pasal 105, Setiap orang yang dengan sengaja merusak Cagar Budaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp500.000.000 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000 (lima miliar rupiah).
Candi Perwara
Terpisah, untuk Candi Perwara, gugusan candi-candi kecil membentuk formasi empat baris yang mengitari candi-candi induk di halaman pusat Kompleks Candi Prambanan.
Prasasti Siwagrha, sumber informasi tertua yang dikaitkan dengan pendirian Candi Prambanan menyebut, candi-candi kecil ini sebagai “bangunan-bangunan kecil yang berderet bersap-sap mengitari bangunan induknya, sama semua bentuknya, pun tingginya sama, demikian pula maksudnya, sedangkan dasarnya pun sama, yaitu pemikiran yang sama”.
Sebagaimana candi-candi utama di halaman pusat, keseluruhan candi-candi Perwara itu juga telah runtuh. Hasil rekonstruksi menunjukkan bahwa dulunya terdapat 224 buah bangunan yang semuanya terletak di halaman kedua. Hingga Tahun 2022 ini, enam bangunan telah berhasil dipugar: 4 bangunan di sisi Timur, 1 bangunan di sisi Utara, dan 1 bangunan di sisi Selatan.
Pemugaran Candi Perwara di Kompleks Candi Prambanan telah dimulai sejak awal abad ke-20. Pemerintah Hindia Belanda berhasil memugar 2 buah bangunan, yaitu deret I Nomor 39 dan deret II Nomor 1.
Informasi yang dihimpun, pemugaran Candi Perwara sempat terhenti cukup lama. Selain disela oleh Perang Dunia II dan serangkaian agresi militer Belanda setelah kemerdekaan Indonesia, fokus penelitian dan pemugaran setelahnya adalah pada candi-candi utama di halaman pusat.
Pemugaran Candi Perwara dimulai lagi pada Tahun 2015 oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya Daerah Istimewa Yogyakarta. Dari Tahun 2015 hingga 2022 ini, kantor unit pelaksana teknis Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi tersebut, telah berhasil memugar empat buah Candi Perwara, yaitu Candi Perwara Deret I, Nomor 43 Tahun 2015, Deret II, Nomor 35 Tahun 2017, Deret II Nomor 14 Tahun 2019, dan Deret I, Nomor 5 Tahun 2022. (Joesvicar Iqbal)