“Lebih jauh ini merupakan orkestrasi kebijakan dengan nuansa “Constitution Disobedience” berdasar dari hal tersebut, maka dapat dipastikan bahwa produk Perppu maupun UU dari Perppu ini tetap bermasalah dari sisi kaidah pembentukannya, sebab tidak terakomodasi kaidah “meaningful participation” itu sendiri, dan potensial untuk dapat dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi kedepan,” urainya.
Mahkamah Konstitusi sebagai “the guardian of constitution, the guardian of democracy, the protector of citizen’s constitutional rights dan the protector of human rights, dengan kewenangan konstitusional dapat menguji keadaan serta syarat kegentingan yang memaksa dari sebuah Perppu sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 22 ayat (1) UUD 1945.
“Secara paradigmatik penggunaan kewenangan itu tentunya sejalan dengan spirit serta doktrin “checks and balances system” yang dianut dalam UUD NRI Tahun 1945 itu sendiri,” tutup Fahri. (Joesvicar Iqbal/msb)