Padahal, penerimaan perpajakan tahun 2022 naik pesat, akibat kenaikan harga komoditas yang tinggi. Padahal, sebagian beban bunga utang juga sudah ditanggung oleh Bank Indonesia, dengan “mencetak uang”, yang digunakan untuk membeli surat utang negara (di pasar primer), tanpa bunga.
Kemudian, utang pemerintah yang jatuh tempo pada 2022 mencapai Rp443 triliun, atau sekitar 21,8 persen dari penerimaan perpajakan.
Dengan demikian, beban bunga ditambah cicilan pokok utang yang harus dibayar pada 2022 sudah mencapai 40,8 persen dari penerimaan perpajakan.
Rasio yang tinggi tersebut sebenarnya sudah mencerminkan pemerintah sulit, atau bahkan tidak mampu, membayar kewajiban beban bunga dan pokok utang yang jatuh tempo. Akibatnya bunga dan pokok utang dibayar melalui penarikan utang baru. Ditambah, bantuan “cetak uang” dari Bank Indonesia, ditambah menaikkan pajak PPN.
Jadi, “Indonesia mampu bayar (utang)” hanya sebatas retorika dan dongeng, yang hanya bisa terjadi kalau masih ada pihak yang mau memberi utang? Atau pemerintah harus minta “perlindungan” dari Bank Indonesia, dengan “mencetak uang”. Atau membebani rakyat dengan menaikkan pajak!.(Peri)