IPOL.ID – Menjelang sidang vonis Richard Eliezer pada Rabu (15/2), Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menilai Richard Eliezer atau Bharada E memiliki peran penting mengungkap perkara pembunuhan Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J.
Ketua LPSK, Hasto Atmojo Suroyo mengatakan, sejak tingkat penyidikan hingga menjelang sidang vonis pada Rabu (15/2), keterangan Bharada E sudah membantu pengungkapan kasus.
Bahwa Bharada E sudah mengungkap masing-masing peran terdakwa dalam kasus pembunuhan berencana Brigadir J yang didalangi mantan Kadiv Propam Polri, Ferdy Sambo.
“Sudah sangat konsisten, sesuai janji dia, komitmen untuk membongkar perkara sebagaimana yang dia tahu,” ungkap Hasto pada wartawan di Jakarta Timur, Sabtu (11/2).
Peran Bharada E ini, lanjutnya, membuat LPSK setuju memberikan Justice Collaborator (JC), atau saksi pelaku yang bekerja sama dengan penegak hukum dalam membongkar suatu perkara.
Menurut LPSK, selama proses sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Bharada E sudah konsisten dengan keterangannya, jujur, dan tidak berbelit-belit bersaksi.
“Itu yang sebenarnya paling signifikan buat dia kenapa LPSK menetapkan dia sebagai Justice Collaborator. Syarat paling penting signifikansi keterangan dia membongkar perkara,” bebernya.
Atas hal tersebut LPSK menyesalkan tuntutan 12 tahun penjara dari jaksa penuntut umum (JPU) kepada Bharada E dan tidak mempertimbangkan status Justice Collaborator.
Hasto menambahkan, hak mendapat keringanan hukuman bagi Justice Collaborator telah diatur dalam Pasal 10 UU Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
“Itu (tuntutan) hak Jaksa, Jaksa punya perhitungan sendiri dan sebagainya. Tetapi kita berharap hakim sebagai pemutus, sebagai wakil Tuhan di dunia bisa memberi putusan lebih adil,” katanya.
Menurut LPSK, JPU tidak memberikan tuntutan ringan kepada Bharada E karena belum semua aparat penegak hukum memahami peran Justice Collaborator diatur dalam Undang-Undang (UU).
Hasto menambahkan, JPU mendasari tuntutan kepada Bharada E lebih menggunakan surat edaran Mahkamah Agung nomor 4 tahun 2011 tentang saksi pelaku tindak pidana yang bekerja sama.
Surat edaran Mahkamah Agung itu merujuk pada UU Nomor 13 tahun 2006, padahal UU itu sudah direvisi menjadi UU 31 tahun 2014 yang justru tidak dipakai menjadi rujukan JPU.
“Tidak semua aparat penegak hukum menerima atau paham UU Perlindungan Saksi dan Korban. Kalau aparat penegak hukum tidak merujuk (UU 31 Tahun 2014) itu ya miss (menyimpang),” katanya.
Menjelang sidang vonis pada Rabu (15/2), sambungnya, pihaknya optimis Bharada E mendapatkan vonis lebih ringan dari tuntutan 12 tahun penjara yang diajukan JPU.
Dia mencontohkan dukungan publik tidak hanya dari masyarakat awam, tapi juga akademisi yang menyampaikan amicus curiae atau sahabat pengadilan mendukung Bharada E.
“Beberapa pihak itu membuktikan tuntutan Jaksa itu melukai rasa keadilan masyarakat. Bukan hanya masyarakat awam, tapi juga masyarakat yang paham tentang hukum,” tukas Hasto. (Joesvicar Iqbal)