IPOL.ID – Produsen tahu di Kelurahan Pekayon, Kecamatan Pasar Rebo, Jakarta Timur, mulai mengeluhkan mahalnya harga kedelai impor sebagai bahan baku utama produksi. Sedangkan stok kedelai lokal minim.
Produsen tahu, Idar Darsim, 75, menerangkan, harga kedelai impor hingga kini masih mahal sehingga membuat dia mengurangi jumlah produksi tahu hingga setengahnya.
“Sekarang kedelai Rp12.100 per kilogram. Memang satu minggu terakhir ini sudah turun dari yang sebelumnya Rp14 ribu, tapi itu pun masih mahal,” ucap Idar di Pasar Rebo, Jakarta Timur, Rabu (1/2).
Sebab, harga kedelai impor normalnya berkisar Rp7.600 per kilogram, tapi sejak Tahun 2020 lalu hingga kini harganya terus melonjak. Sehingga membuat sejumlah produsen mogok produksi.
Menurut dia yang sudah menjalani usaha produksi tahu Sumedang sejak Tahun 1984, kenaikan harga kedelai dalam beberapa tahun terakhir yang paling parah terjadi.
“Naiknya Rp100, tapi terus menerus. Kalau dulu naik Rp2.000 tapi bisa berapa tahun sekali, jadi enggak memberatkan. Sekarang susah, makanya saya menurunkan produksi,” tukasnya.
Sebelumnya dalam satu hari Idar dan sejumlah karyawannya dapat memproduksi tahu hingga empat kuintal per hari. Karena belakangan jumlah produksi anjlok hingga disiasati menjadi setengahnya.
Mahalnya harga kedelai dan daya beli masyarakat menurun akibat pandemi Covid-19 melanda Tahun 2019 lalu, jadi salah satu faktor turunnya jumlah produksi tahu usaha milik Idar.
“Kalau untuk ukuran tahu enggak berubah, hanya harganya saja lebih mahal. Sekarang saya jual per papan ke pedagang itu Rp33 ribu. Kalau ke pengecer Rp38 ribu per papan,” katanya.
Produsen tahu di kawasan Pekayon, Pasar Rebo, juga mempertanyakan stok kedelai lokal yang tidak bisa memenuhi kebutuhan produksi.
Idar mengaku heran karena kedelai lokal yang secara kualitas lebih bagus untuk produksi tahu tapi justru stoknya tidak ada di pasaran.
Minimnya ketersediaan jumlah kedelai lokal membuat para produsen bergantung pada kedelai impor yang harganya tidak stabil karena mengikuti perdagangan bebas.
“Stoknya juga jarang. Dulu pas zaman masih swasembada memang stoknya ada, tapi sekarang enggak. Padahal lebih bagus dibanding kedelai impor,” beber Idar.
Dia mengungkap, stok kedelai lokal minim karena sekarang banyak petani yang enggan bercocok tanam kedelai. Mereka memilih komoditas lebih menguntungkan untuk digarap.
Pemerintah hanya dapat mengimbau petani untuk menanam kedelai tanpa dapat mencari solusi meningkatkan produksi kedelai lokal agar tercipta ketahanan pangan.
Dampaknya harga kedelai impor naik mengikuti pasar bebas, produsen tempe tahu dibuat kelabakan harus merogoh modal lebih banyak dalam membeli bahan baku utama tersebut.
“Setau saya harga kedelai lokal sekarang malah lebih mahal dari kedelai impor. Saya enggak tahu pasti harganya sekarang tapi pokoknya lebih mahal. Saya juga heran kenapa harganya lebih mahal,” keluhnya.
Selain masalah stok, Idar menambahkan, produsen tahu lebih memilih kedelai impor sebagai bahan baku karena kedelai cenderung butuh proses lebih lama agar bisa diproduksi.
Dicontohkannya, kedelai lokal yang pernah dibelinya di pasar masih tergolong basah. Jadi butuh waktu terlebih dahulu dijemur agar bisa digunakan dalam memproduksi tahu.
“Kedelai lokal itu basah, kurang kering, dalamnya hitam. Mesti dijemur lagi, lama dijemurnya ya tergantung cuaca saja. Jadi menghambat produksi, jadi saya enggak beli,” tutup Idar. (Joesvicar Iqbal)