Dikemukakan, di tengah tensi politik yang semakin panas jelang pelaksanaan pemilihan umum (pemilu), Rocky hadir sebagai pelepas dahaga publik menghadapi kebijakan politik yang kontroversial. Sehingga sebagai filsuf politik, Rocky tak bosan mengktitik pemerintah dengan diksi yang membuat semua pihak terkejut.
“Jika disebut diksinya kasar terhadap Presiden Jokowi, hal itu tidak bisa dipisahkan dari kegundahan batinnya yang jengkel terhadap kebijakan presiden. Banyak yang berujar dengan diksi yang sama seperti Rocky, namun tidak diancam dengan penjara seperti Rocky. Kesimpulannya, kehadiran Rocky dianggap membahayakan kekuasaan,” ujar Ginting.
Bukan kali ini saja, kata Ginting, kritikan Rocky berujung pada kontroversi publik yang berimbas pada persoalan hukum. Rocky memang selalu menekankan pentingnya kritik, karena kritik mempunyai pengertian pada dataran konseptual maupun realitas.
“Inilah yang disebut dialektika, karena setiap argumen harus dikritik dengan argumen lain yang berlawanan. Tesa berhadapan dengan antitesa, sehingga melahirkan sintesa. Penguasa membuat tesa, Rocky hadir sebagai antitesa terhadap penguasa, sehingga akan muncul sintesa sebagai pendidikan politik bagi publik,” ujar Ginting yang juga wartawan senior bidang politik.