IPOL.ID – Jalanan di Gaza berubah jadi kuburan terbuka karena banyak keluarga telah beralih menguburkan jenazah kerabat mereka yang terbunuh dalam serangan udara Israel di kuburan massal darurat yang tersebar di seluruh Jalur Gaza.
Dilansir Anadolu, Sabtu (16/12), Pemakaman di kuburan darurat disebabkan oleh sulitnya mencapai pemakaman karena agresi yang sedang berlangsung.
Warga Palestina yang diwawancarai oleh Anadolu mengatakan bahwa kuburan-kuburan tersebut dimaksudkan untuk sementara waktu hingga gencatan senjata kemanusiaan diumumkan atau permusuhan berhenti. Pada saat itu, jenazah akan dipindahkan ke pemakaman resmi di kota-kota.
Kepala Euro-Mediterranean Observatory for Human Rights, Rami Abdu, mengatakan bahwa timnya telah mendokumentasikan lebih dari 120 kuburan massal sementara di gubernuran Jalur Gaza untuk menguburkan para korban perang Israel yang sedang berlangsung.
Abdu mencatat dalam pernyataan sebelumnya kepada Anadolu bahwa orang-orang di Jalur Gaza terpaksa membangun kuburan massal darurat di lingkungan perumahan, halaman rumah, jalan, aula pernikahan, dan stadion olahraga, karena sulitnya mengakses pemakaman utama dan terorganisir.
“Kami telah mendokumentasikan lebih dari 120 kuburan massal darurat di mana tiga atau lebih individu dari keluarga yang menjadi target dikuburkan,” katanya.
Abdu menjelaskan bahwa keluarga-keluarga beralih ke opsi tersebut karena ketidakmungkinan untuk mencapai pemakaman utama akibat penutupan jalan, penghancuran infrastruktur, dan operasi penargetan yang sedang berlangsung.
“Operasi pemakaman menghadapi kesulitan besar karena hilangnya sebagian besar atau seluruh anggota keluarga, sehingga prosedur pemakaman menjadi tidak mungkin dilakukan. Selain itu, rumah sakit juga menghadapi kesulitan untuk menerima pasien yang meninggal, terutama dengan berhentinya operasi di Kota Gaza dan wilayah utara,” katanya.
Selama pengepungan pada November, Kompleks Medis Al-Shifa berubah menjadi kuburan karena pemerintah harus menguburkan puluhan syuhada di kuburan massal yang tersebar di lokasi, koridor, dan berbagai fasilitas.
Hal itu terjadi setelah mayat-mayat tersebut membusuk dan tentara Israel menolak untuk memindahkannya untuk dikuburkan.
Kompleks Medis Al-Shifa adalah institusi kesehatan terbesar yang menyediakan layanan medis di Jalur Gaza. Tempat ini biasanya menerima ribuan pasien dan orang-orang yang terluka setiap hari, selain para pengungsi yang mencari perlindungan sebelum dievakuasi secara paksa oleh tentara Israel.
Pada 12 November, tim medis di Al-Shifa menguburkan sekitar 100 mayat warga Palestina yang terluka dalam serangan udara Israel dan menghembuskan nafas terakhirnya di rumah sakit tersebut, demikian pernyataan Direktur Jenderal Kementerian Kesehatan Palestina di Jalur Gaza, Munir Al-Bursh.
Pada 14 November, tentara Israel menyerbu kompleks tersebut setelah mengepungnya selama beberapa hari, di mana bentrokan terjadi dengan para pejuang Palestina di sekitarnya. Tentara menarik diri setelah 10 hari, meninggalkan kehancuran yang luas dan beberapa korban jiwa dan luka-luka.
Situasi yang sama juga terjadi di Rumah Sakit Al-Quds yang berafiliasi dengan Bulan Sabit Merah Palestina di wilayah Tel Al-Hawa, sebelah barat Kota Gaza, dan Rumah Sakit Indonesia di sebelah utara Jalur Gaza. Keduanya menyaksikan proses pemakaman sementara di dalam lokasi mereka.
“Pemerintah memutuskan untuk menguburkan sejumlah syuhada yang jasadnya mulai membusuk di sebuah taman kecil di gedung baru selama masa pengepungan,” kata seorang dokter dari Rumah Sakit Al-Quds.
Dokter tersebut, yang tidak mau menyebutkan namanya, menjelaskan kepada Anadolu bahwa para pekerja terpaksa mengambil tindakan tersebut karena berdesak-desakannya para syuhada dan menyebarnya bau mayat yang membusuk di koridor-koridor rumah sakit sebelum evakuasi paksa pada bulan November, serta penolakan tentara untuk mengizinkan mayat-mayat tersebut dikeluarkan untuk dimakamkan.
Pada November, tentara Israel secara terpisah memasuki rumah sakit Al-Quds dan rumah sakit Indonesia setelah mengepungnya selama berhari-hari dan secara langsung menargetkan mereka.
Di Jabalia, di Jalur Gaza utara, jurnalis Anas Al-Sharif, yang bekerja untuk Al-Jazeera, terpaksa memakamkan ayahnya, Jamal Al-Sharif, 65 tahun, di halaman salah satu sekolah di kamp Pengungsi Jabalia pada Senin (18/3). Hal itu dikarenakan sulitnya mencapai pemakaman utama di kamp tersebut karena penembakan yang terus berlangsung.
Warga Palestina juga terpaksa menguburkan korban perang di kuburan darurat yang digali di dalam pasar kamp, di samping toko-toko, di alun-alun, dan di jalan-jalan.
Pada 9 Desember, Anadolu mendokumentasikan pembuatan kuburan massal di alun-alun pasar kamp dan lorong-lorongnya.
Para saksi mata mengatakan kepada Anadolu bahwa mayat-mayat dikuburkan di ruang hijau di antara dua sisi jalan di Jalur tersebut. (far)