Lebih lanjut, putusan kontroversial MK di atas rupanya menjadi pemicu terjadinya pelanggaran kode etik ketua KPU dan jajarannya karena mereka menerima pendaftaran Prabowo-Gibran tanpa terlebih dahulu mengubah peraturan KPU tentang syarat pendaftaran calon presiden-wakil presiden pasca keluarnya putusan MK yang membolehkan warga negara belum genap berusia 40 tahun sepanjang pernah atau sedang menjabat jabatan yang dipilih melalui pemilu termasuk pilkada mengikuti pilpres. Akibatnya, ketua KPU dan jajarannya kemudian dijatuhi sanksi peringatan keras oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).
Lebih dari itu, pelaksanaan Pemilu 2024 dan setelahnya juga penuh carut marut. Hal ini dapat dibuktikan dengan amburadulnya sistem rekapitulasi suara (sirekap) yang digunakan KPU untuk merekap suara pemilih sehingga menimbulkan kecurigaan di kalangan peserta pemilu dan masyarakat. Selain itu, KPU tidak konsisten terkait keterbukaan proses rekapitulasi suara, terkadang ditayangkan secara terbuka melalui kanal media resmi KPU dan media-media publik, kadang pula KPU memutuskan untuk tidak membuka proses rekapitulasi suara. Idealnya, jika mau terbuka, konsisten saja terbuka dari awal hingga akhir. Belum lagi dengan kontroversi ketua KPU yang menurut fakta, telah empat kali dinyatakan melanggar kode etik dan pedoman perilaku penyelenggara pemilu termasuk dalam hal ini pelanggaran etik ketua KPU yang telah penulis jelaskan di atas.