IPOL.ID – Wakil Ketua MPR, Hidayat Nur Wahid mengkritik Rancangan Undang-Undang Daerah Khusus Jakarta (UU DKJ) yang tetap disetujui oleh rapat paripurna DPR bersama Pemerintah, sekalipun ditolak oleh PKS.
Ia menilai, seharusnya warga Jakarta diperlakukan secara adil dan sama dengan warga daerah-daerah khusus lainnya. Bahkan, ia menyebut UU DKJ ini secara tidak langsung telah tidak adil dan diskriminatif terhadap warga Jakarta.
“Padahal warga Jakarta pemilik kedaulatan jumlahnya dua kali lipat lebih dari penduduk di daerah khusus lainnya, seperti Aceh, Yogyakarta maupun Papua. Mestinya mereka mendapat hak memilih sama seperti warga daerah khusus lainnya,” ujar pria yang akrab disapa HNW dalam keterangannya, Rabu (3/4).
Hal itu bila dilihat dari demografi penduduk, maka penduduk Jakarta juga kualitas ekonomi dan pendidikannya tidak kalah dengan daerah-daerah khusus lainnya. Jadi wajar apabila warga di daerah-daerah khusus itu diberi hak memilih bupati/walikota dan anggota DPRD kabupaten/kota, maka hak memilih itu juga diberikan kepada warga Jakarta yang bahkan sudah memilih langsung Ketua RT dan RW-nya.
“Dengan demikian Jakarta bisa menjadi contoh terbaik kwalitas dan praktek berdemokrasi, ketika keadilan diwujudkan dan Konstitusi dilaksanakan,” pungkasnya.
HNW menjelaskan, apabila merujuk kepada ketentuan Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) 1945 secara umum, ada dua poin penting yang diberlakukan terhadap Jakarta. Misalnya, merujuk kepada Pasal 18 ayat (4) bahwa kepala daerah (baik gubernur maupun Walikota/bupati) dipilih secara demokratis dan bukan diangkat oleh presiden atau gubernur sebagaimana dalam UU DKJ ini. Selain itu, ada pula Pasal 18 ayat (3) UUD NRI 1945 yang menyatakan bahwa setiap provinsi dan kabupaten/kota mempunyai DPRD yang dipilih melalui pemilihan umum.
Bila merujuk kepada UU No. 29 Tahun 2007 yang digantikan oleh UU DKJ ini, warga Jakarta memang tidak memilih secara langsung walikota/bupati dan tidak memiliki perwakilan yang dipilih langsung di tingkat kota/kabupaten (DPRD). Hal itu dapat dipahami karena status Jakarta yang memang ibukota dan disebutkan bahwa otonomi hanya pada tingkat provinsi.
“Namun, sekarang dengan adanya perpindahan ibu kota, kan status sebagai ibukota itu sudah hilang dan tidak berlaku, sehingga tidak berlaku pula aturan diskriminatif tersebut, dan mestinya ketentuan konstitusi yang dilaksanakan sebagaimana diberlakukan untuk daerah-daerah khusus lainnya yang bukan ibukota negara,” tukasnya.
HNW juga mengingatkan dahulu memang ada yang sempat mempermasalahkan tidak dipilih langsungnya walikota/bupati dan tidak adanya DPRD di tingkat kota/kabupaten dalam UU No.29/2007 ke Mahkamah Konstitusi (MK), lalu ditolak MK.
“Dahulu bisa dipahami kenapa ditolak karena status Jakarta yang sebagai ibukota. Sekarang status Jakarta sudah berbeda, sehingga seharusnya bila UU DKJ ini diuji ke MK, MK bisa tidak menolak, dan bisa memutus berbeda dengan sebelumnya karena ada fakta baru bahwa Jakarta tidak lagi berstatus khusus sebagai ibukota,” ujarnya. (Sofian)