IPOL.ID – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) berharap puncak emisi karbon di Indonesia terjadi pada 2030. Dengan demikian target Net Zero Emissions (NZE) bisa tercapai di 2060.
Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM, Eniya Listiani Dewi mewanti-wanti jangan sampai target tersebut bergeser.
“Jangan sampai ini bergeser ke 2035, yang mana kalau bergeser lagi nanti tidak tercapai dong 2060, atau tiba-tiba kurvanya itu tajam sekali gitu kan, juga tidak mungkin ya,” kata Eniya dalam acara Green Economy Expo di Jakarta Convention Center.
Saat ini Kementerian ESDM sedang berusaha agar dalam kurun waktu 5 tahun ke depan, pemerintah bisa menggenjot penggunaan energi bersih di dalam negeri. Terutama penggunaan energi bersih yang selaras dengan target-target yang sudah dicanangkan oleh pemerintah.
“Jadi realisasi yang harus kita targetkan untuk penurunan emisi sekitar 993 juta ton CO2 ekuivalen, ini akan terus-menerus kita upayakan. Paling kalau biasa jalan terjal ke atas sangat susah ya, memang ini susah nih pada saat kita ingin menurunkan emisi, tetapi masih ada pemakaian emisi sampai 2030,” tuturnya.
Pemerintah sendiri telah menyiapkan peta jalan untuk mencapai NZE pada 2060. Di antaranya penerapan efisiensi energi, elektrifikasi, moratorium Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dan pensiun dini PLTU, pengembangan energi baru terbarukan (EBT), menciptakan sumber energi baru, serta pengembangan teknologi Carbon Capture Storage (CCS)/Carbon Capture Utility Storage (CCUS).
“Kita harapkan akselerasi renewable energy akan bisa terangkat after 2030, tapi sebelum itu pun harus sudah berusaha masuk,” ucapnya.
Proyek Tangkap Simpan Karbon
Sisi lain, Direktur Pembinaan Usaha Hulu Migas Ariana Soemanto mengatakan, Indonesia saat ini memiliki 15 proyek potensial CCS/CCUS dengan target operasi 2026-2030.
Dikatakannya, pemerintah terus berupaya mengurangi emisi gas rumah kaca. Salah satu upaya yang tengah didorong dengan penerapan teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon atau Carbon Capture and Storage dan Carbon Capture Utilisation and Storage (CCS/CCUS).
“Saat ini, Indonesia memiliki total sekitar 15 proyek potensial CCS/CCUS dengan target on stream tahun 2026-2030. Dua cekungan yang sedang didorong Pemerintah untuk dijadikan CCS Hub di wilayah Asia Timur dan Australia yaitu cekungan Sunda Asri dan cekungan Bintuni,” katanya pada pertemuan Indonesia-Norway Bilateral Energy Consultation (INBEC) dikutip dari laman Kementerian ESDM, Rabu (3/7/2024).
Indonesia dikenal memiliki cekungan sedimen terbesar di kawasan Asia Tenggara. Indonesia memiliki potensi sumber daya penyimpanan karbon di 20 cekungan dengan kapasitas 573 Giga ton Saline Aquifer dan 4,8 Giga Ton depleted oil and gas reservoir yang tersebar di berbagai wilayah di Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua.
Dilansir DetikFinance, Ariana juga menjelaskan bahwa skema CCS di Indonesia dibagi menjadi 2 (dua) pilihan.
Pilihan pertama adalah penyelenggaraan CCS berdasarkan Kontrak Kerja Sama Migas. Rencana kegiatan CCS dapat diusulkan oleh Kontraktor Kontrak Kerja Sama dalam POD I maupun POD lanjutan atau revisinya.
Kedua, CCS dapat dikembangkan sebagai usaha tersendiri, melalui Izin Eksplorasi Zona Target Injeksi dan Izin Operasi Penyimpanan Karbon.
Untuk mendukung pengembangan CCS/CCUS, pemerintah juga telah mengimplementasikan berbagai kebijakan, antara lain pembentukan CCS/CCUS National Centre of Excellence bersama dengan lembaga penelitian dan universitas, memperkuat kerja sama internasional di bidang CCS/CCUS, serta menyusun regulasi dan kebijakan turunan.
“Saat ini, telah terbit Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 2 tahun 2023 dan Peraturan Presiden (Perpres) nomor 14 tahun 2024 yang menjadi landasan hukum kuat untuk pengembangan dan penerapan penangkapan dan penyimpanan karbon (CCS) di Indonesia,” pungkas Ariana. (wilsonlumi)