Dalam pandangannya, Ormas yang mendapat tawaran WIUPK, perlu mewaspadai adanya “Jebakan Kotor” IUP Pertambangan. Ini yang seringkali sarat dengan spekulasi yang dapat menyebabkan kerusakan lingkungan, konflik sosial, dan kerugian ekonomi. Istilah “jebakan kotor” mengacu pada praktik perusahaan memperoleh lisensi IUP melalui cara korup, seperti suap atau penipuan. Hal ini dapat menyebabkan eksploitasi sumber daya alam, kerusakan lingkungan, dan ketidakadilan sosial.
Ismail menyimpulkan bahwa regulasi yang dikeluarkan Pemerintah tersebut belum memiliki sumber legitimasi yang kuat, karena bertentangan dengan norma di atasnya. “Pertimbangan kebijakan tersebut lebih bersifat politis daripada pertimbangan hukum. Oleh karena itu, Ormas Keagamaan perlu berhati-hati dan mewaspadai jebakan praktik kotor pada sektor pertambangan,” tuturnya.
Menanggapi itu, Dosen Pascasarjana Universitas Borobudur, Ahmad Redi mempunyai pandangan yang berbeda. Ia menyebutkan Pasal 83A PP No. 25 Tahun 2024 yang mengatur bahwa untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat, WIUPK dapat dilakukan penawaran secara prioritas. Yakni kepada badan usaha yang dimiliki oleh organisasi kemasyarakatan keagamaan.