Dampaknya pemilih tunanetra kesulitan menggunakan hak suaranya di bilik TPS, padahal mereka memiliki hak suara yang sama dengan pemilih lainnya untuk ikut mencoblos.
Kasus lain yang banyak terjadi pada Pemilu 2024 lalu yaitu penyandang disabilitas justru dilarang membawa pendamping dari anggota keluarganya ketika mencoblos.
“Ada sebagian (petugas KPPS) yang melarang kami untuk membawa pendamping. Harusnya kami bisa membawa pendamping sendiri (ke bilik suara),” tuturnya.
Bahkan pada Pemilu 2024, terdapat anggota Pertuni DPC Jakarta Timur yang hanya diberi satu surat suara Pilpres saja, sementara surat suara ada DPD, DPR, dan DPRD DKI Jakarta.
Padahal secara ketentuan Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum disabilitas diperbolehkan membawa pendamping ke bilik suara, dengan syarat menjaga kerahasiaan.
Sehingga Mulyawan berharap, kedua kasus yang terjadi Pemilu 2024 tidak kembali terulang, agar KPU segera memberikan simulasi pencoblosan sebelum Pilkada 2024.
“Karena itu kami ingin kami bisa dilibatkan, dan KPU daerah segera membuat simulasi untuk memberikan pengetahuan kepada kami,” tutupnya. (Joesvicar Iqbal)