Pak Sugeng, seorang petani karet rakyat asal Jambi, dengan getir mengenang masa-masa sulit tersebut. Ia mengungkapkan bahwa pendapatan dari hasil menyadap karet sehari-hari seringkali tidak mencukupi untuk membeli beras, apalagi kebutuhan hidup lainnya. Situasi ini membuat dia dan banyak petani karet lainnya merasa putus asa.
Pak Sugeng menceritakan bagaimana ia harus berutang atau menunda pembayaran uang sekolah anak-anaknya ketika harga karet jatuh. Ia menggambarkan beratnya beban yang harus ia tanggung di masa sulit tersebut. Harga karet yang rendah dan sulitnya memenuhi kebutuhan hidup mendorong banyak petani karet rakyat untuk berhenti menyadap karet.
Sebagian dari mereka beralih ke komoditas lain yang dianggap lebih menguntungkan, seperti kelapa sawit dan kopi. Terlebih lagi, harga tandan buah segar (TBS) sawit saat ini mencapai lebih dari Rp3.000 per kilogram, jauh lebih tinggi dibandingkan harga karet.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) juga menunjukkan penurunan luas lahan perkebunan karet rakyat sebesar 4,3% antara tahun 2015 hingga 2020. Mereka yang bertahan di tengah harga karet yang rendah harus mendapati kenyataan pahit setiap hari.