Hingga pada tahun 1997, sebuah obrolan ringan dengan seorang pedagang mi asal Blora mengubah arah hidupnya.
“Tahun 1997 tiyang Bloro sadean mie rebus, jarene mie dipangan karo pentol tambah enak de, dak aku seng dodol, lha piye de gelem tak warai. (Tahun 1997, ada orang Blora jualan mi rebus. Katanya lebih enak kalau dimakan sama pentol bakso. Kalau mau jualan sini saya ajari buatnya.),” kenangnya.
Sumarno menerima tawaran tersebut dan mulai mempelajari seluk beluk pembuatan bakso. Dengan modal awal 3 kilogram daging, ia memberanikan diri berjualan keliling di sekitar desanya.
Setahun kemudian, tepatnya pada tahun 1998, sang istri, Sukarti, turut membantu berjualan pentol bakso.
Sumarno dan istri berjualan bakso dengan berkeliling desa-desa. Sumarno mengendarai sepeda motor dan istri naik sepeda ontel sampe sekarang.
Setiap hari Sumarno mampu membuat 20-25 pentol bakso. Dagangannya tidak pernah tersisa. Selalu habis terjual.
Tak hanya tekad, Sumarno juga menyimpan kisah spiritual di balik perjalanannya. Saat masih muda, ia pernah bermimpi berada di makam Rasulullah Saw.